Selasa, 14 Mei 2013

Syahadat Menjawab


Sekarang jam tiga lebih lima puluh menit. Sekarang jam tiga lebih lima puluh menit. Sekarang jam... Belum genap tiga kali suara alarm hp memberitahukan jam berapa waktu itu, aila terbangun dari tidurnya. Ia meraba ke atas bantal dengan tangan kanannya untuk mematikan alarm yang semalam tadi ia pasang. Ia memang berniat bangun lebih pagi dari biasanya guna shalat tahajjud. Hatinya bercampur rasa. Memang ia senang sekali karena esok pagi mungkin ia sudah bertemu keluarganya kembali. Namun seperti sebuah pasangan, dimana ada senang pasti juga ada sedih. Ia yang semula sangat tidak terbiasa dengan kehidupannya yang berlatih sebagai seorang pekerja di suatu balai kini sudah mampu menerima bahkan mencintai rutinitasnya itu. Ia merasa sangat berat meninggalkan kegiatan yang mampu mengubahnya menjadi sosok yang jauh lebih mandiri. Baik itu dalam hal menjaga diri, disiplin waktu, disiplin memanage uang, belajar hidup sendiri, dan disiplin pula untuk selalu beribadah kepada Allah.
Setelah tidak didengarnya lagi suara alarm hp yang berulang-ulang, aila mengucek matanya dan memastikan kembali bahwa ia bangun sesuai dengan jam yang telah di atur. Benar. Jam menunjukkan pukul empat kurang. Kantuk masih sangat dirasakannya akibat godaan setan yang terus menghasut manusia dengan bisikan lembutnya agar menjauhi ha-hal yang mendekatkan kepada kebaikan. Namun aila sadar, ia tidak boleh kalah dengan musuh orang beriman itu. Ia yangmasih belum sepenuhnya terjaga mencoba bangun dari tempat tidur dan mengambil air wudhu di kamar mandi yang kebetulan ada di dalam kamar kost sehingga ia tak perlu repot-repot keluar.
Setelah selesai shalat tahajjud, ia berdoa seperti biasanya memohon ampun atas dosa dirinya, kedua orang tua, dan saudara sesama muslimnya. Namun pagi ini ada do’a khusus yang menyertainya. “ya Allah, aila berterimakasih atas kekuatan yang Engkau berikan sehingga aila bisa dengan lancar menyelesaikan Praktek Industri ini dengan baik. Aila senang sekali akan bisa bertemu dengan bapak, ibuk dan kak Rizal. Namun tanpa aila mengadu, Engkau pasti tahu apa yang aila rasakan. Aila mencintainya ya Allah. Aila tahu, ini dosa. Tetapi kenapa Engkau masih mengizinkan untuknya menghuni selama ini di hati aila? Jika Engkau tidak suka kenapa tidak menghilangkan sosoknya dari hidup aila?” pagi buta itu ia mengadu kepada sang khalik yang tidak akan pernah bosan mendengar keluh kesah hambaNya.
Ia teringat  betapa semangatnya 6 bulan yang lalu ketika semua siswa seangkatannya berangkat menuju tempat praktek masing-masing untuk menjalankan program wajib sekolah yaitu praktek industri. Jelas tidak hanya tertuju pada satu tempat. Dengan jumlah siswa lebih dari 350 anak pada 3 jurusan, mereka terbagi atas beberapa kelompok besar yang masing-masing kelompok bertujuan ke satu tempat praktek. Mereka tersebar sesuai dengan pilihan sekolah. Ada yang di kiriim ke Bandung, Jakarta, Kalimantan, Sumetera, dan masih banyak daerah tujuan lainnya. Aila kebagian jatah Praktek Industri di Daerah Jakarta. Berbeda dengan pacarnya yang mendapat tempat praktek di Bandung yang memaksa mereka untuk berpisah sementara waktu.
“bleh?” begitu aila memanggil seorang cowok dengan seragam yang sama di sampingya. “apa mbul sayang?” toleh kekasihnya dengan nada simpatik. Aila yang tadinya berharap cemas kepada kedatangan bus yang akan mengantar kepergiannya ke Jakarta segera menoleh pula ke arah yose.“aku sayang sama kamu bleh.” Nada bicara aila terdengar sangat tulus. Kedua tangan yose dengan lembut menggenggam tangan aila. “aku juga sayang sama kamu, sayang.” Senyum yose mengembang di wajahnya. “mbul, aku tahu maksud kamu apa. ini sebentar kok. setelah itu, kita ketemu lagi kan? cuma enam bulan. Ini juga demi menjalankan prosedur sesuai kurikulum sekolah. Mau nggak mau kita tetep harus ngejalani ini kan? kamu percaya kan sama aku?” tatap yose jauh menembus ke dalam mata aila. Yose memang begitu. Selalu saja ia bisa menguatkan hati aila. Dan aila pun selalu percaya seakan itu adalah motivasi besar yang menyebabkan ia kecanduan akan tutur yose. “aku percaya sama kamu doblehku.” Balas aila dengan nada bicara yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. mereka berdua tidak menghiraukan orang berlalu-lalang di jalan raya depan sekolah mereka. Depan mereka berdiri pula. Masing-masing siswa yang lain juga sibuk dengan urusannya sendiri. “kalau gitu, kamu nggak boleh sedih. nggak boleh mikir yang aneh-aneh. Jangan nakal disana ya mbul?” tangan kanan yose kini mengusap kepala aila dan itu adalah salah satu hal yang paling aila suka. “iya sayang, aku nggak bakal aneh-aneh kok disana. Kamu juga harus janji ya nggak boleh nakal!” aila mengacungkan jari kelingking tangan kanannya yang disusul dengan kelingking yose yang mengikat yakin. Kini mereka tersenyum lega. Berdua. Sebelum akhirnya mereka benci dengan bus maisng-masing yang menjadi saksi perpisahan di bulan agustus itu. Mereka saling memasuki bus yang juga terpisah. Berdua, di depan pintu bus yang di antri banyak siswa, mereka masih sempat berhenti sebentar melempar senyum dari wajah tulus untuk satu-satunya orang yang mereka cintai.
Sama seperti sesaat setelah melempar senyum itu, tanpa aila sadari, bulir air mata membasahi pipinya. Kali ini sekaligus menetesi mukena yang membungkus telapak tangannya yang tengah tengadah memanjatkan do’a. “ya Allah, apa maksud dari semua ini? Jika engkau tidak merestui rasa ini, aila ikhlas. Namun aila mohon, hilangkan semua rasa yang semakin menyiksa ini. Atau aila di perbolehkan mencintainya? Jika boleh meminta, berikan petunjuk atas... ...” setelah lama berdialog dengan Tuhannya pada tahajjud kali itu, aila menutup do’a dengan “rabbana atina fiddunnya khasanah, wa fil akhirati khasanah waqina ‘adzabannaar” dalam sujud khidmatnya.
Aila tidak ingin semakin larut dalam kegalauannya, ia menyibukkan diri dengan mengepak semua barang yang harus ia bawa kembali ke Semarang. Ia mempersiapkan segala sesuatunya sendiri karena tepat jam 10 pagi ia harus sudah berkumpul dengan rombongannya di terminal Gambir untuk segera berbagi pengalaman dengan keluarga maupun teman yang akan di jumpainya besok.
~Ameliora~
“aila!” teriak nida di seberang ujung sana. Ia sama-sama pulang dari praktek industrinya di Kalimantan. Sepasang mata dari pemilik nama yang merasa disebut itu celingukan mencari dari mana sumber arah panggilan itu. Yap. Seseorang di samping bus nomor 7 melambaikan tangan kepada aila. “eh, hai nid.” Aila membalasnya dengan melambaikan tangan pula. Setengah berlari aila menghampiri nida yang berdiri menanti disana. Sebagai seorang sahabat yang sudah cukup lama tidak bertemu, pagi itu sekitar pukul 11 siang mereka berpelukan. Mereka senang sekali bisa berkumpul dan bertatap muka dengan semua teman seangkatannya yang dijadwalkan pulang hari ini.
“ah selalu kamu la.” “hah? selalu apa? Ada yang aneh ya nid?” aila memandangi penampilan dirinya dari atas hingga bawah seluruh badannya. Aila mengerutkan jidatnya dan mengangkat kedua bahunya sambil menatap nida tanda katidaktahuannya. “kamu tu selalu cantik pake jilbab warna pink kaya gitu.” Puji nida. “ah dasar kamu nid. Nanti aku jadi terbang nih kalo kepalaku makin gedhe dapet pujianmu. Bisa jadi balon udara entar. Hahaha” mereka tertawa berdua. Dan seperti halnya siswa-siswi yang lainnya, mereka saling bertukar pengalaman yang di dapat selama ada di tempat praktek masing-masing.
~Ameliora~
“assalamualaikum.” Sapa aila selepas meletakkan sepatunya di samping pintu. Kepulangan aila yang di jemput oleh ayahnya itu mendapat sambutan hangat dari ibu dan kakaknya. “ciyeeh yang dapat duit banyak. Kayaknya ada yang mau ngasih oleh-oleh ke kak rizal nih.” goda kakaknya yang juga telah menunggu. “iya deh, nih.” di ruang tv itu aila membongkar koper berisi oleh-oleh. Belum seluruhnya isi koper di keluarkan, aila beranjak berdiri. “aku mandi dulu ya, di buka aja itu koper. capek banget nih.” Aila masuk ke kamar ibunya dan mengambil handuk yang tersampir di pintu kamar sementara kedua orangtua dan kakaknya mencicipi dodol garut yang dibawanya.
Aila menyisir rambutnya yang panjang hitam selepas mandi. Memakai handbody dan meratakan hazeline di wajahnya lewat tuntunan kaca berukuran 30x20cm di dinding pink kamarnya. Di rumah ia tidak mengenakan jilbab. Hanya ke sekolah ia mengenakannya. Kadang-kadang saja saat bepergian ia menutupi mahkotanya sebagai seorang wanita. Ia sangat minat berjilbab. Namun, ia sadar bahwa berjilbab bukan merupakan pilihan melainkan sebuah keputusan dengan konsekuensi dan tanggung jawab yang berat. Ia tidak mau hanya sekedar berjilbab saja. Bukan kuantitas yang ia cari. Namun kualitas yang sedang ia matangkan. Sementara ini ia baru akan menjilbabi hatinya sebelum benar-benar berhijab luar dalam.
Sementara ia menata kamarnya—yang  sebenernya sudah bersih karena selama ia pergi tidak pernah luput tersapu oleh ibunya—hp yang ia taruh di atas bednya bergetar. Sebuah sms masuk dengan nomor hp yang tidak ia kenal. “sayang udah pulang dari Jakarta?” begitulah kalimat yang membuat aila mengerutkan keningnya. Ia bingung siapa disana yang menirim sms itu. Dadanya berdegup mengingat selama ini hanya yose yang memanggilnya sayang. Sejenak ia hanya diam duduk terpaku dalam pikirannya yang melayang mencari tiitk temu. Namun hanya yoselah yang selalu muncul dalam pencariannya. “maaf, ini siapa ya?” aila memutuskan untuk membalas sms itu. hatinya kembali gelisah membayangkan balasan sms yang akan diterimanya. Hp masih di genggam erat dalam tangan kanannya. Beberapa kali ia melirik hp dengan anggapan sudah ada sms masuk tanpa getaran. Jelas mustahil karena ia telah mensetting sedemikian rupa agar setiap kali ada sms masuk ditandai dengan getaran tanpa nada dering.
Ketika ia berdiri untuk mengambil segelas air putih dengan harapan dapat menenangkan gelisah hatinya, belum sampai keluar kamar hp yang ia taruh di atas meja belajar di samping bednya kembali bergetar. Lekas saja ia mengambil hp itu dengan harapan segera mengetahui siapa orang yang memanggilnya dengan sebutan sayang. Ah, sayangnya itu bukan sms dari nomor yang tidak di kenal tadi. Hanya sebuah sms dari operator SIM card dengan pemberitahuan ada paket baru. Malas sekali ia membaca isinya tahu itu tidak penting. Malah langsung di hapusnya. Dan ia keluar kamar begitu saja.
“alhamdulillah” ia mengucap syukur dadanya sedikit lega merasakan kerongkongannya dingin teraliri air putih yang baru saja ia teguk. Ia kembali lagi ke kamarnya. Masih dengan tujuan yang sama : menunggu balasan sms. Langsung saja ia mengambil hpnya yang baru berapa menit ia tinggal. Yap! Sudah ada satu sms masuk. Benar saja. Rasanya air putih yang tadi menyejukkan itu lenyap tak berjejak. Kini ia dua kali lebih berdegup ketika sebuah nama yang tertulis di pesan masuknya menjawab rasa penasarannya. Sebuah nama yang sedari tadi menjadi sasarannya. Masih dengan hatinyayang bergeming, berbagai macam pertanyaan muncul dalam pikir panjangnya. Dia ganti nomor? Kemana nomor hp yang beda satu digit dengannya? Apa ia membuangnya? Nomor yang mereka beli bersama itu sudah tidak berarti baginya? Lalu kemana pula ia selama ini? Kenapa baru sekarang dia sms? Apa pula maksudnya dengan panggilan sayang itu? ah, bendungan air dalam matanya tumpah membanjiri pipinya. Aila menyandarkan tubuh yang kini mendadak lemas ke dinding kamarnya. Ia merasakan ngilu di hatinya masih dengan rasa penasaran. Ia terlalu sakit mebayangkan sesosok pria yang mungkin sedang menunggu balasan sms darinya.
Sekarang makin menjadilah tangisannya setelah ia membaca sms lanjutan yang baru saja masuk. Seperti kebanyakan yang lainnya, terus saja air mata mengalir tanpa diiringi suara tangisan. Ia tidak mau orangtua atau kakaknya mengetahui bahwa ia sedang menangis. Mau tidak mau ia harus membalas sms itu. masalahnya, mau di jawab apa?? Seseorang yang sudah lama menghilang dan kini datang dengan segala teka-teki yang tidak di mengerti aila. Diajaknya ia dinner pukul 7 malam hari itu juga. iya? Atau menolak? Bingung. Kata itu sanggup mewakili perasaan di hatinya.
~Ameliora~
Kerudung dengan model pasmina bermotif lurik harimau hitam putih itu menutup seluruh rambutnya. Dinginnya mengendarai motor malam itu mampu di tepisnya dengan motivasi kuat yang memupuk hatinya membuat ia bergegas menuju sebuah restoran yang di sebut dalam sms yang diterimanya tadi sore. “Kampung Lesehan”. Tepat di depan restoran itu aila menyalakan lampu righting motornya. Ketika jalan raya cukup lengang, ia belok kanan sekaligus membawa motornya masuk ke restoran yang cukup luas itu setelah membaca tulisan di dinding depan restoran : demi keamanan, sepeda motor harap di bawa masuk.
“permisi mbak, bilik nomor 5 dimana ya?” ia menghampiri seorang wanita berseragam merah biru yang sedang menguncir rambutnya. Dengan sigap pelayan yang ia hampiri itu menyudahi mengucir rambutnya dan menarik bawah baju untuk merapikannya. “eh?” sejenak pelayan itu kaget karena tidak menyadari kehadiran aila di belakangnya sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya.  “oh mari saya antar mbak. Sepertinya meja itu juga sudah di pesan dari tadi pagi.” Pelayan itu menjelaskan sambil berjalan. “kalau boleh tau, siapa ya mbak yang udah mesan mejanya?” tanya aila sambil berjalan di belakang mengikuti kemana pelayan berjalan. “oh saya kurang tau mbak, tapi cowok.” Jawab pelayan tanpa menoleh. Setelah menaiki 5 tangga, pelayan dengan tinggi tidak melebihi badan aila itu berhenti di depan 3 bilik yang ada.3 bilik lain dengan nomor 1, 2 dan 3 ada di lesehan bawah tanpa harus menaiki tangga.”itu mbak.” Tunjuk pelayan ke bilik yang berada di tengah dari semua bilik yang berderet di situ. “makasih ya mbak.”kata aila sambil tersenyum ramah. Pelayan itu berlalu dan aila menghampiri bilik yang telah di tunjuk tadi.
Satu, dua, tiga, dan diteruskan dengan langkah selanjutnya, aila melewati bilik nomor 4 dan berjalan semakin pelan, ragu untuk memantapkan langkahnya. Semua bilik berjejer dengan sekat sebuah anyaman bambu namun terbuka tanpa pintu. Jadi pelayan dapat dengan mudah mengantar pesanan ke nomor meja yang dituju. Terlihat seseorang duduk membelakangi keberadaan aila. Tampak seorang laki-laki terlihat dari postur tubuh dan potongan rambutnya. Sepertinya aila kenal dengan sosok itu. Bahkan mungkin sudah tidak asing lagi. Namun ia tidak berani menduga. Ia sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya melepas sandal yang dipakainya dan masuk ke bilik nomor 4 itu.
Kini sesosok cowok yang ia duga benar ada di hadapannya. Aila masih saja berdiri meski cowok itu duduk dan memandangnya. Aila salah tingkah benar menghadapinya. Bingung harus bersikap bagaimana. Tangan kanannya masih belum lepas menutupi mulut sedari tadi sebelum  akhirnya cowok yang mengajaknya makan malam membuka percakapan diantara mereka. “mbul? Kenapa nggak duduk? Sini sebelahku.” Ajak cowok itu dengan akrabnya. Ia mempersilakan dengan tangannya dan menggeser badan memberi tempat untuk aila duduk. “hmm. Enggak sini aja. makasih.” Tolak aila halus. Ia tidak mau semakin salah tingkah dengan duduk bersebelahan dengannya. Ia hanya tertunduk dengan degupan cepat dalam jantungnya.
“silakan mbak, mas.” Pelayan yang berbeda dari yang aila temui kini mengantarkan beberapa hidangan dan minuman ke meja berukuran 1,5x1 meter itu. Ada nasi satu bakul, nila bakar asam manis, dan cumi-cumi bumbu rujak kesukaan aila. Ada lagi satu menu yang selalu dipesan yaitu daun ketela dengan 3 sambalnya. “makasih mbak.” Kata yose kemudian. “aku kan belum pesan.” Tatap aila yang bingung kearah yose.“ tadi aku yang pesan suruh nganter kalo udah ada cewek yang dateng ke bilik ini. Mau aku ambilin? Seberapa?” tawar cowok dengan hem motif kotak-kotak berwarna biru dengan penuh perhatian. Ia mengambil piring hendak mengambilkan nasi merah di bakul. Aila mengangkat tangan kanannya. “nggak usah. Aku bisa ngambil sendrii.” Mereka berdua kembali diam dalam suasana canggung.
“yose, aku nggak ngerti sama sikapmu.” Aila mencoba mengutarakan apa yang ia rasa dan menatap yose sebentar lalu menunduk lagi. “aila, aku sayang... ...” “cukup yose.” Aila melepas tangan yose yang mencoba menggenggamnya, menahan dengan isyarat mengangkat kedua tangannya di depan dada tanda tidak mau. “aku tahu, maksudmu la. Sekarang kita makan dulu ya? Nanti aku jelasin.” Yose takut aila akan merasa tambah canggung dan mereka tidak jadi dinner. Tidak mau makanan yang sudah ia pesan tidak termakan.
Ketika mereka berdua menyantap hidangan yang sebenarnya cukup membuat aila tergiur, kata sayang yang sudah bisa aila tebak akan di tujukan kepadanya membaut ia teringat sesuatu. Sebenarnya ada rasa gelisah yang mencampuri rasa bahagianya ketika ia mendengar kata sayang dari yose. Apalagi sebuah kejadian pernah membuat hubungan mereka berantakan. Atau malah mendewasakan mereka?
                                                            ~Ameliora~                  
“sayang tak kasih tau.” “apa apa?” respond aila antusias. “ah nggak jadi ah.” Goda yose yang kembali menyeruput es kelapa muda di hadapannya. “ah apa kok. sini esnya.” Rebut aila dengan wajah cemberut. “eh eh ya siniin kok.” yose mencoba merebutnya kembali namun gagal. “yee. Esnya siapa coba. Week. Cepet ah kasih tau apaan. Nanti aku tuangin sambal nih ke mangkokmu.” “ah curang kamu mbul.” “biarin wee.” Balas aila menggodanya. “emm kasih ta nggak ya?” yose menggodanya lagi.” “oh ya terserah yaa. Mau ini apa enggak?” ancam aila dengan menyendokkan sambal yang diarahkan ke mangkuk yose. “iya deh iya.” Pasrah yose yang memang anti sambal. “Ibukku suka loh sama kamu.” “eh?” aila bingung mau menjawab apa keburu senyum mengembang di wajahnya. “ah paling juga kamu ngarang bleh.” “aku nggak ngarang sayang, orang ibukku tadi malem bilang gitu habis siangnya ketemu kamu.” jelas yose. “emang bilang gimana coba aku mau denger.” “ya gitu itu, nggak inget persis kalimatnya. Intinya suka sama kamu. Soalnya kamu tu duduknya tegak. Nah, ibuk suka sama cewek yang duduknya tegak gitu sayang.” Terang yose jujur. “eh eh, tapi ya jangan terus di tegak-tegakin gitu mbul.” “eh apaan coba. Hahaha” mereka berdua tertawa dalam warung bakso dekat sekolah mereka.
~Ameliora~
 Aila masuk ke kamarnya untuk sekedar meneruskan membaca novel yang baru setengah jalan ia baca. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dengan orang tuanya. Tidak ingin semakin ngelantur dan mneyakiti hatinya. Mungkin juga akan menyakiti hati yose jika ia tahu. sementara disana, di rumahnya, yose juga menyudahi ngegamenya dan memutuskan untuk menghubungi aila via sms. “sayang? J :*” seperti biasa, aila membalasnya dengan “iya apa sayang?” “kamu habis ngapain?” “aku habis diajak ngobrol sama ortu nih.” “ngobrolin apa sayang?” tanya yose ingin tahu. “ah ya ada deh  kok.” setengah bercanda, sebenarnya aila memang tidak berniat untuk memberi tahu yose.“ah, yaudah kalau mau tutup-tutupan.” “hmm iya deh, aku cerita. Jadi gini loh bleh. Intinya, bahas future plan yang nggak sejalan sama yang orang tua harapin.” Maksud aila, keinginan kuliahnya yang kurang di setujui oleh ibunya. Tapi rupanya yose membaca hal lain dalam pikiran aila. “soal hub kita ya?” “iya sih, tadi di bahas dikit.” Selalu begitu. Aila paling tidak bisa bohong kepada yose, orang yang sangat ia cinta. “orang tua kamu nggak mau kita pacaran? Nggak setuju ya? L” “eh nggak gitu kok sayang.” Aila tidak mau semakin jauh membahas itu. “terus apa? Yaudah. Nggak papa la. Kita bisa kok cuma cuma sekedar temenan aja.” ah, hati aila selalu mengirim signal buruk ketika yose hanya menyebutnya dengan aila saja. Bukan sayang ataupun gembulnya.
Aila menyudahi membaca novel itu, tiduran dan meletakkan novel berjudul Merjan-merjan Jiwa itu di sebelah bantalnya. “bleh, please jangan. Orang tuaku bukan ngelarang kita pacaran. Enggak! Mereka cuma takut akan kemungkinan yang terjadi di esok. Semisal gimana nanti nikahnya, siapa yang harus ngalah, anak kita ikut siapa andai kita nggak ada yang mau ngalah, dan hal lain yang itu masih panjang banget bakal kita laluin. Aku rasa orang tua aku wajar kalo khawatir... ...” aila menjelaskan panjang lebar berharap yose mau mengerti dan mendengarkan penjelasnnya. “udahlah la, aku tahu ini bakal terjadi. Aku nggak mau semakin sakit lagi. Anggap kita nggak pernah ketemu, nggak pernah kenal, nggak pernah... ...” aila memejamkan matanya meloloskan air mata yang sejak dari tadi ia bendung dalam kelopak bawah matanya. Ia tak kuasa menahan tangisnya malam itu. Bahkan untuk sekedar membaca sms yose yang menyesakkan dadanya.
Paginya, dengan mata yang sembab aila mencegah yose yang sudah ingin pulang. Beruntung dia melihat yose keluar dari kelasnya. Rupanya sedari tadi dia menunggu yose pulang tidak sia-sia. Sejak tadi malam yose tidak membalas smsnya, ia cuma bisa menjalankan rencana yang disarankan sahabatnya untuk menghampiri yose secara langsung. “yose!” panggil aila kepada yose yang tidak melihat keberadaan aila di belakangnya waktu ia keluar kelas. Yose menoleh tanpa mnegucap sepatah katapun. Dari mukanya jelas ada semburat kekecewaan.  Aila menarik tangan yose ke tempat langganan dimana mereka sering bertemu untuk berbicara mencari jalan keluar ketika mereka di hampiri masalah.
Kelas mereka bersebelahan. Pintu kelas mereka juga bersebalahan tentu. Yap! Di batas antara dua pintu itu mereka sering berdiskusi. Karena dari sana mereka berdua langsung bisa mengetahui jika sewaktu-waktu ada guru menyambangi kelas salah satu dari aila ataupun yose untuk mengisi mata diklat sesuai jadwal pelajaran. Yose masih saja diam disitu meski sudah berhadapan dengan aila. Sepertinya harus aila yang memulai pembicaraan itu. “bleh, beneran kamu mau ngehindar dari aku?” aila mencoba meyakinkan salah satu pernyataan yang yose sempat lontarkan kepadanya semalam. Yose tidak menjawabnya. Tidak juga menatapnya. Hanya mengangkat bahunya dengan sepele. “yose, jawab pertanyaan aku. iya, atau enggak?” jelas aila butuh jawaban itu.  “hm mungkin.” Jawab yose akhirnya. Singkat. Namun membuat aila cukup kecewa. Aila juga kaget dengan jawaban itu. Jawaban yang sangat tidak ia harapkan. Ia pikir, tadi malam yose hanya asal saja karena ia sedang emosi. Tapi ternyata sama saja. Atau mungkin yose pun sekarang masih terbawa emosinya? Hati aila seperti berbicara bahwa aila tidak boleh menyerah begitu saja jika ia memang sayang terhadap yose.
Lama sekali aila meyakinkan yose. Akhirnya yose luluh dan berkata “aku sayang sama kamu aila.” Yose menatap aila dalam dan mengelus wajah aila. Mendengar pernyataan yang sudah aila tunggu-tunggu membuat bongkahan air dalam matanya leleh. Keluar. “ah, sial.” Aila menyesali kenapa ia tidak bisa menahan air matanya untuk tetap bertahan dalam kelopak matanya. Tapi dengan kesadaran penuh bahwa ia sedang berada di tempat umum, aila mencoba agar tangisannya berhenti. Jari yose pun dengan lembut mengusap air mata aila di pipinya. “jangan nangis disini sayang. Aku nggak mau lihat kamu sedih. aku nggak akan pergi kok. oke, kita jalani ini berdua mbul!” kata-kata itu berkali-kali lipat menguatkan hati aila. Genggaman erat tangan yose seakan mewakili pelukan hangat yang mungkin akan aila dapat suatu saat nanti, tentu saka menunggu para saksi berkata SAH.
~Ameliora~
Entah karena memang signal hati mereka yang masih kuat atau ditakdirkan untuk sehati, mereka berdua berdiri bersamaan. Sama-sama untuk cuci tangan. Memang makan dengan sambal tidak enak jika harus repot menggunakan sendok. Apalagi mereka harus menyisihkan duri-duri yang bersembunyi di dalam tubuh nila malang yang di masak asam manis itu. tentu akan merepotkan mereka sendiri. Aila sebenarnya ingin sebisa mungkin menghindar dari yose. Namun ia malas jika harus ke washable di ujung sana. Mau tidak mau ia mencuci tangannya satu washable dengan...pacar? sudah mantan? Atau hanya sekedar teman? ah entahlah.
Mereka kembali duduk berhadapan. Masing masing menyeruput juice alpukat. Kesukaan mereka dalam urusan minuman sama. Setelah dirasa sudah cukup kondusif, yose memulai lagi pembicaraan mereka. Dari awal. “aila?” panggil yose lembut. “yaa?” kini aila sudah mulai berani menatap yose. Diam sebentar. Yose menengadahkan tangannya meminta ijin untuk memegang tangan aila. Namun aila menggeleng. “sayang? Ayolaah. Kamu kenapa sih? Aneh banget.” Yose cemberut tidak mengerti dengan sikap aila. “kamu yang aneh, bukan aku!” disini aila mulai terpancing. “aneh gimana la?” yose sudah tahu kemana arah percakapan aila. Namun ia tidak ingin hanya menduga melainkan mendengar penjelasan dari aila secara lagsung. “selama ini kamu kemana ha? 5 bulan lebih ini kamu dimana? Kamu ngilang gitu aja kan? cuma bertahan 2 minggu kita ngejalani LDR. Dimana komitmen kamu yang bilang kamu nggak akan pergi? Bahkan aku hubungi aja kamu nggak bisa. Nomor hp kamu kemana? Di buang? Ingat nggak sih itu kita beli berdua sengaja biar kembaran! Udah nggak berarti lagi itu nomor?” “la, hp aku hilang waktu pulang praktek. Entah jatuh atau di ambil copet waktu aku ketiduran di bus. Maaf la.” Yose memotong pembicaraan aila. “dengerin aku dulu. Tadi aku diem kamu bingung kan? sekarang aku ngomong kamu potong. Mau kamu apa?” emosi aila semakin naik. “oke, maaf la. Aku bakal dengerin kamu.” kata yose mempersilakan aila meneruskan pembicaraannya kembali.
“kamu sadar nggak sih, itu nyakitin hati aku banget? Nggak sadar? Nggak peka kok ya! Pantes aja kalo gitu. 5 bulan itu bukan waktu yang bentar buat orang yang lagi pacaran. Inget nggak waktu dua hari liburan terus kamu bilang kangen? Ini 5 bulan kamu nggak kangen ha? Apa udah ada yang lain di Bandung? Udah nemuin yang lain? Gampang banget kamu lupain aku. nggak mikir apa sakitnya aku kayak apa? Coba bayangin kalau kamu di gituin sama orang yang kamu sayang itu gimana rasanya. Sekarang lima bulan udah lewat, kamu pisah sama seseorang yang udah buat kamu lupa sama aku waktu di Bandung gara-gara kamu balik lagi ke Semarang, kamu balik lagi juga ke aku gitu? Sayang lagi ke aku gitu? Tanpa mikirin perasaan aku? ih gampang banget. Nggak ada yang disina, pake cadangan disini gitu? Hah, semua orang yang nggak punya hati juga bisa!” sebongkah rasa yang menggumpal di hatinya sejak tadi sore menerima sms dari yose kini tumpah ruah keluar melalui mulutnya. Kemarahan aila muncul akibat rasa kecewa yang ia rasa bermula dari yose. Di benaknya, yose lah penyebab kekecewaannya. Kemarahannya pun jelas terlukis dari tatapan tajam mata aila terhadap cowok yang ia sayang tapi sekaligus ia benci itu. Ia tidak canggung lagi menatap mata yang sudah berbulan-bulan ia rindukan. Jujur, semarah apapun aila, sejahat apapun yose terhadapnya, yoselah yang ia sayang.
“aila, aku punya sesuatu buat kamu.” kata yose tetap tenang. Ia sudah memprediksikan reaksi aila dan memperkiarakan apa yang harus ia lakukan. Sudah semenjak berhari-hari yang lalu ia rencanakan. “apa?!” jawab aila dengan nada tinggi. “dengerin ya la?” senyum yose tetap terlukis di wajahnya seberapa emosinya aila. “hm.” Jawab aila singkat.
“bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahi rabbil’alamiin. Arrahmaanirrahiim. Maalikiyaumiddiin. Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin. Ihdinasyiraathalmustaqiim. Syiraathalladziina an’amta ‘alaihim. Ghairil maghdzuubi ‘alaihim. Waladhoolliin. Aamiin.” begitulah yose melantunkan ayat-ayat awal dalam surat Al-Baqarah yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an dan wajib dibaca oleh orang muslim yang menjalankan shalat. Aila tercengang menatap yose dengan heran. “hhhh”. Yose mengambil nafas dalam-dalam, dan menghelanya sampai habis. Lega sekali rasanya bisa membaca beberapa ayat tersebut. Ia tersenyum lebar kepada aila yang masih belum percaya atas apa yang baru saja ia dengar. Rasanya mustahil yose dapat melantunkan ayat suci Al-Qur’an. Masih dalam gemelut kebingungannya, aila hanya diam. Bukan tidak tahu ingin berkomentar apa. Tepatnya, mulutnya serasa kaku untuk berkata. Jangankan berkata, otot rahangnya seperti lupa bagaimana ia menutup mulut. Aila hanya mampu menatap yose heran dengan kedua tangan menutupi sebagian wajah, tepatnya menutupi mulutnya. Ia terlempar dalam sebuah gambaran masa lalu yang mungkin dapat menjawab.
~Ameliora~
“hhhh.” Aila menghela nafas sembari merebahkan tubuhnya ke tempat tidur busa dengan spreinya yang bermotif bunga tulip itu. Hari ini ia merasa sangat lelah setelah seharian menyelesaikan praktek industri rutinnya yang baru berjalan satu minggu. Ia belum cukup terbiasa dengan jadwal hariannya itu. Jangankan untuk bergegas mandi. Meletekkan sepatu ke rak sepatu saja ia tak berselera. Ia hanya sudi berhenti untuk melepas dan meninggalkan sepasang sepatunya di depan pintu sebelum ia menutupnya. Ia tak khawatir sedikitpun meninggalkan sepasang sepatunya diluar. Kost yang belum lama ia tempati itu terkenal aman dari pencuri maupun sekedar orang jail yang iseng mencuri barang anak kost.
Drrrtt drrrt. Hp yang sudah sedari tadi tidak lepas dari gengamannya bergetar. Sebuah sms masuk dengan kontak bernama Yose. “sayang? Maaf. Aku barusan mandi.” Ah, sepele sekali alasannya. “kenapa nggak bilang dulu sih bleh? Kamu tahu kan kau nggak suka nunggu? Errgh.” Itulah jawaban rutin yang aila suguhkan terhadap pacarnya. “eh sayang, aku ada janji nih sama temen. Bisnis gitu. Aku pergi dulu ya? Love u! :-*” begitu saja pesan yang ditinggalkan yose kepada aila selalu sekitar jam setengah enam sore. Ketika di tanya mengenai bisnisnya itu, yose tidak menjawab. Tidak pernah mau mengaku ataupun menjelaskan. Meskipun di sms berkali-kalipun, ketika dia sudah bilang mau ada janji, pasti tidak di balas. Aila curiga. Tapi bisa apa dia? Jakarta-Bandung untuk ukuran aila yang tidak pernah menjamah kedua kota itu cukup membuat aila tidak berani mencoba untuk menemui yose. Aila hanya berbekal yakin bahwa yose tidak akan berbuat aneh-aneh seperti janji yang mereka utarakan sesaat sebelum memasuki bus untuk mengantar mereka ke dua kota yangmemisahkan mereka dan terpaksa membuat mereka menjalani Long Distance Relationship. Namun itu pun hanya bertahan tidak lebih dari 2 minggu saja. Setelah itu, yose menghilang.
Aila yang berperawakan langsing, berkulit langsat dan berhidung bangir itu tentu mempunyai daya tarik tersendiri di mata laki-laki. Selama di tempat praktek, beberapa kali ia di perkenalkan kepada kakak kelas cowok yang sudah lama di rekrut di tempat itu. Namun tidak semudah apa menaklukan hati aila. Bertukar nomor hp mungkin iya, karena ia cuma tidak mau di anggap sombong oleh kakak kelas cewek yang membantu melupakan yose dari pikirannya. Bagaimanapun juga, kakak kelas lah yang mencarikan tempat kost untuk adik-adiknya yang menjalankan praktek industri di kawasan yang bersangkutan. Namun sekali lagi aila bukan tipe cewek yang mudah berpindah hati. Sudah seberapa jauh kakak kelas pdkt dengannya, namun jika sudah ada cowok yang mampu mengisi bilik kosong dalam hatinya—seperti embrio yang melekat dalam rahim seorang ibu—cowok itu tidak akan mudah lepas begitu saja. Aila hanya akan sekedar simpatik tanpa menaruh rasa lebih. Al hasil, cowok-cowok yang mendekati aila jera dan mundur teratur langkah demi langkah.
~Ameliora~
Hati aila berkecamuk di hadapan yose dalam naungan atap pondok makan Kampung Leshan malam itu. Apa benar tentang hp yose yang hilang itu sehingga ia tidak bisa menghubingi aila? Lalu, bagaimana dengan yang baru saja ia dengar? Meski memang belum fasih melantunkannya, mustahil jika  yose mampu bahkan hafal begitu saja ayat Al-Qur’an. Ia seorang non muslim, seorang kristian tepatnya. Salah satu hal yang pernah menjadi perdebatan antara aila dan orang tuanya waktu itu. Apakah...?
Yose menghampiri aila yang tertunduk menangis dengan kedua tangan memegang dadanya yang terasa ngilu. Ia sangat menyesal kenapa tadi terburu-buru marah sebelum yose menjelaskan yang sebenarnya. “iya, mbul. Setiap sebelum magrib, aku belajar ngaji di sebuah masjid dekat kostku. Di sana aku diajari sholat sama seorang usatadz. Tadinya aku ragu, tapi aku ngerasa mantap waktu temenku ngedukung keputusanku. Soal bisnis itu, ya bisnis aku belajar islam mbul. Aku nggak ngasih tau kamu biar ini jadi surprise.” Jelas yose seakan melihat pertanyan-pertanyaan yang muncul di mata kekasihnnya itu. “ aku minta maaf, aku sayang sama kamu kayak tadi kamu bilang kalau kamu sayang aku juga. Makanya aku nggak bisa di ting.. ..” belum sempat aila melengkapi kalimatnya, yose mendekap erat aila yang kini ada di sampingnya. Membuat aila semakin tidak kuasa melanjutkan kalimatnya. Aila masih tertunduk terisak. Hati aila semakin bergeming. Ia bahkan mampu merasakan degupan dada yose yang saat itu memeluknya. “sayang, udah ya. Aku minta maaf udah nyakitin kamu kayak gini. Seenaknya dateng dan pergi. Kita mulai dari awal ya? Kamu mau kan?” yose melepaskan pelukannya. Menengadahkan wajah aila dengan kedua tangan, mengusap lembut air mata aila dengan kedua ibu jarinya. Dengan tangan yose, aila sedikit demi sedikit mengumpulkan nyali untuk menatap yose kembali. Tatapan itu tidak asing lagi bagi aila. Ia merindukannya. “kamu mau kan sayang?” yose meyakinkan aila kembali. Aila terus saja menatap mata yose yang terlihat sangat berharap kepadanya. Aila mengangguk dan tersenyum kepada yose. “kamu nggak boleh nangis lagi ya sayang?” pinta yose. Lagi-lagi, aila hanya mengangguk. Mungkin ia sudah mampu menatap yose. Namun untuk berucap, rahang aila belum mampu melakukannya. Yose kembali memeluk aila bahkan lebih erat dari yang sebelumnya. Hangat.
~Ameliora~
“nid, gimana nih kulit jagungnya? Aku musti pulang sekarang soalnya mau ada acara keluarga gitu. Jadi nggak bisa nganter kamu ke pabrik sekolah buat mungut kulit jagungnya.” Keluh aila kepada nida yang mendapat jatah mengambil kulit jagung untuk penelitian ilmiah mereka. “yah, gimana dong la. Indah kan juga ada acara sama anak PA. Malu dong kalau aku sendirian kesana. Mana nggak kenal lagi sama orang-orang pabrik.” Kata nida dengan muka cemberutnya. “iya juga sih, mana di kelas tinggal kita berdua pula. Ah.” Aila menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya ke kursi tempat ia duduk. “eh bentar, la. Gimana kalau aku ngajak sahabatku aja?” “nah, ide bagus tuh!” kata aila antusias. “bentar ya, aku sms dulu. Tapi kamu jangan keburu pulang. Tungguin sampai dia kesini.” Tahan nida yang memaksa aila tetap menunggunya. “ah iyaa deh.”
“Who is that girl i see staring straight back at me. When will my reflection show who i am inside.” Ketika aila bernyanyi sebuah lagu yang menjadi soundtrack film produksi Walt Disney itu, yose datang. “gimana nid?” tanya cowok itu dari luar jendela kelas. “aku dianter ke pabrik kripik jagung ya?” ajak nida. “mau apa sih?” tanya cowok itu tidak mengerti. “halah, udah ikut aku aja.” desak nida. “yaudah ayo.” Yose berjalan mendahului  ketika nida dan aila masih di dalam kelas. “eh nid?” aila menahan tangan nida yang berjalan melewatinya membuat nida menoleh ke arahnya. “apa lagi la? Tuh yose udah kesana nanti aku keburu di tinggal.” “manis eh. Hehe.” Kata aila innocent. “yeee. Dasar kamu! udah ah. Bye.” Kata nida sambil berlalu.
~Ameliora~
Pertemuan singkat itu tidak di sangka akan mengajaknya berlayar sejauh ini. Kini ia sudah setengah jalan lebih. Mau tidak mau ia harus meneruskan jalan sampai ke tujuan. Tidak mungkin ia kembali lagi ke pelabuhan dimana ia memulai perjalanan. Akan sangat menyesakkan ketika ia sudah mampu melewati berbagai rintangan lalu berhenti bahkan berbalik arah begitu saja. Untuk apa perjuangnnya selama ini jika akhirnya hanya setengah saja yang mampu ia tempuh? Halangan-halangan itulah yang semakin menguatkan hati aila. Terlebih lagi yose yang sudah mempercayai keyakinan keTuhanannya.
Yose menatap mata aila, menguatkan. Menggenggamnya, mengajak masuk dalam rumahnya. Namun aila ragu dan sempat berhenti sebentar, menahan ajakan yose. Aila menggeleng. “aila, ayo kita jelasin ke ibuk aku. percaya ini nggak seburuk yang kamu perkirakan.”kata yose. Mereka pun masuk gerbang rumah yose berdua. Ini kali pertama aila menginjak kaki di rumah yose. Tetapi bukan itu yang membuat aila ragu. Tidak seperti yose yang sudah beberapa kali ke rumah aila, aila bahkan belum pernah bertemu dengan anggota keluarga yose. Belum mengenal karakter mereka terutama orang tua yose. Bagaimana ia bisa memperkirakan respond yang mungkin akan ia terima? Namun yose lah kekuatan dalam hatinya.
“ibu bahkan nggak habis pikir sama keputusanmu yose! Ibu nggak pernah nyangka kamu bakal senekat ini.” Kemarahan skaligus kekecewaan terlihat di wajah ibu yose. “ada apa ini?” mendengar ada riuh di ruang tamu, ayahnya yang sedang menonton tv keluar ikut menemui aila dan yose. “ini pak, anakmu diam-diam sudah berkhianat terhadap Tuhan kita.” “maksudmu apa buk?” tanya ayahnya tidak mengerti. “anakmu pengen pindah agama. Selama di Bandung, dia sudah sering mengaji dan belajar Al-Qur’an. “diajari siapa kamu kayak begini? Cewek yang di sebelahmu itu?” suara ayah yose menggelegar membuat hati kedua insan yang menjalin cinta itu bergetar. Mereka berdua hanya bisa menunduk. Sudah di duga respond orang tua yose akan negatif. “pak, buk. Bukan aila yang menghasut ataupun mengajak yose. Tapi keinginan... ..” “ah sudahlah! Diam kamu!” paaak! Seketika itu tangan yose refleks memegang pipi kanannya. Diam tanpa suara. Yose sudah tidak berani berkata lagi. “pak, buk. Kami bisa menjelaskan duduk perkaranya. Jadi begini, ... ...” kini giliran aila yang angkat bicara. Ia pikir orang tua yose tidak akan akan sefrontal itu terhadapnya mengingat orang tua yose tidak ada hak untuk berbuat kasar kepadanya. Sore itu adalah sejarah bagi perjalanan cinta mereka berdua. Entah itu apa hasilnya. Mungkin setelah ini aila akan membicarakan ini dengan orang tuanya. Jika yose masih mau berjuang berdua, tentunya. Ia membayangkan orang tuanya yang akan menghela nafas lega karena keinginan yose yang begitu kuat mungkin akan membuka jalan baru bagi kisah mereka berdua.
~Ameliora~
“saya terima nikahnya aila ulya mahmudah binti Gunawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan seperangkat perhiasan emas 16 gram, tunai.” Aila menahan nafas ketika calon suaminya menjawab ijab dari penghulu yang menjabat erat. Hatinya berdebar takut calonnya salah dan harus mengulang. Namun ternyata mampu diikrarkan dengan sekali nafas dan diucapkan dengan lantang. “hhhhh.” Seketika itu ia menghela nafas. Lega. “bagaimana?” tanya penghulu yang di serahi kuasa oleh ayahnya aila untuk menikahkan putrinya itu. “saaah.” “ya, sah.” Jawab para saksi yang hadir dalam upacara akad nikah itu. “alhamdulillaah.” Syukur penghulu yang diikuti oleh semuanya. “barokallahu.. ...” do’a pasca akad nikah itu di pimpin masih oleh penghulu dan diaamiini para tamu undangan yang hadir di situ. Upacara sakral itu berlangsung khidmat. Mawar Sharon. Di sanalah aila menjadi tokoh utama dalam acara yang dilangsungkan khusus untuknya dan sang suami. Dalam setiap doa ia menghayati sampai-sampai air mata menetes melewati kedua sudut matanya. Aila tertunduk khusyuk bersyukur atas karunia Allah yang baru saja mempertemukan ia dengan jodohnya. Ia bahagia sekali seakan tidak percaya akan apa yang sedang dia alami.
Seperti layaknya sepasang pengantin, dikawal oleh pengiring yang tidak lain adalah kakak kandung dan sepupu-sepupunya, ia diarahkan oleh dukun pengantin menuju panggung resepsi setelah ijab qabul selesai dan dengan gaun yang berbeda yang sudah disiapkan sebelumnya. Ia berjalan dengan gaun putih modern digandeng oleh suaminya di tengah-tengah para undangan. Tak ada satu pasang matapun yang tidak memperhatikannya. Serasa putri sehari, di acara resepsi dengan konsep serba putih itu aila menjadi pusat perhatian. Dengan wajah—yang pernah gurunya kira ia seorang indo—ia dirias sedemikian rupa cantiknya. Membuat seseorang di sampingnya tersenyum mengagumi kecantikan istrinya.
Duduk berdampingan dalam satu kursi diatas panggung, dalam senyumnya aila masih saja terus bersyukur mengucap hamdalah kepada Allah. Ia benar-benar merasa bahagia dengan takdir yang dilimpahkan kepadanya. Dalam duduk bahagia itu, ia mendapat bisikan “will u be a mommy for my children?”  suara yang hinggap dalam telinganya itu terasa begitu lembut. Menyejukkan hatinya. Sebuah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Aila mengangguk mantap dan mereka berdua berpandangan melempar senyum masing-masing. Jelas terpancar kebahagiaan dari kedua mata yang saling memandang itu.
                                                            ~Ameliora~          
“oeeeeeeek.” Keheningan pagi buta itu dipecahkan oleh tangisan seorang bayi laki-laki yang baru saja lahir. Bayi itu menangis lantang dalam gendongan tangan bidan yang membantu kelahirannya. Bersih. Hanya sedikit darah saja melumuri ubun-ubun dan ujung kakinya. “sempurna.” Kata bidan itu menatap aila. “alhamdulillaah.” Syukur aila dan hampir semua orang yang menunggui kelahiran putranya. Aila menangis bahagia menatap makhluk kecil itu dan mengelus kepalanya. “sebentar ya mbak, biar dimandikan dulu.” Pinta bidan itu lembut. “iya bu bidan, silakan.” aila ikut saja prosedur bidan. Ia merasa sangat lega sampai lupa rasa sakit yang sebenarnya masih merayap diseluruh tubuh. Peluhnya mengalir deras mengaliri kening dan wajahnya. Diusap seseorang yang berdiri di sampingnya, suaminya. “makasih ya sayang? Aku sayang kamu.” katanya. “aku sayang kamu juga.” ucap aila pula.
“allaahuakbar allaahuakbar. Allaahuakbar allaahuakbar. Asyhadu allaailaaha ilallah. Asyhadu allailaaha ilallah. Asyhadu anna muhamamdarrasulullaah. Asyhadu anna muhamamdarrasulullaah. ... ...” aila menangis melihat suaminya—yose april mananta—mengumandangkan adzan dan iqamah dengan fasih di kedua telinga putranya. Hatinya bergetar mengingat semua perjuangan yang sudah mereka berdua lakukan. Ia memegang dadanya yang terasa ngilu. Begitulah aila. Hatinya ikut berbicara ketika ia merasakan sedih maupun bahagia yang sangat mendalam.
Mozaik-mozaik yang selama ini ia alami telah tersusun rapi membentuk sebuah puzzle takdir. Puzzle yang tidak sekali susun langsung jadi. Namun pada akhirnya mozaik-mozaik yang berserakan itu kini berkumpul menjadi satu. Masing-masing dari mereka tidak berdiri sendiri. Tentu saja saling berkaitan satu sama lain. Teka-teki Allah itu kini terkuak dan muncul ke permukaan. Membuat aila bersyukur atas jalan hidup yang Allah anugerahkan. Membuat aila mengerti hikmah di balik baik- buruk kisahnya. Membuat ia lebih sadar bahwa yang Allah berikan pasti adalah yang terbaik dengan intisari berbeda-beda dari setiap puzzle.
Ia tidak pernah menyesal ditakdirkan dengan kisah cinta penuh pengorbanan. Ia tahu bahwa itu semualah yang menguatkan dan mengokohkan sehingga ia dan yose dapat bertahan sampai sekarang. Tidak sia-sia perjuangannya selama ini. Allah menjawab doanya. Dengan halus dan tidak pernah berhenti memberikan pengertian kepada keluarga yose, akhirnya mereka luluh dan mau mengerti. Mereka berdua tidak pernah bosan dan tidak pernah lelah terus berjuang meyakinkan. Orang tua aila sendiripun awalnya tampak ragu dengan tekad yose untuk menjadi seorang muallaf mengingat basicnya sebagai kristian. Orang tua aila takut yose tidak akan mampu memenuhi kewajibannya menjadi imam sebagai seorang suami untuk aila. Takut yose tidak akan mampu berkomitmen menjadi seorang muslim yang nantinya harus membimbing aila. Tetapi begitulah mereka berdua. Tidak pernah takut menghalau rintangan. Saling bergandengan tangan untuk berjalan bersama. Merangkul ketika yang satu merasa sudah tidak kuat lagi berdiri. Mereka saling mengerti dan memahami.
Begitu pula dengan yose. Ia merasa mendapat berkah yang luar biasa. Satu kado untuk dua momen. Kado dari pernikahannya dengan aila, dan kado bagi ulang tahunnya di hari itu. Minggu, 27 April 2007. Adli April Mananta. Begitulah yose dan aila memberi nama buah cinta mereka berdua. Sepasang suami-istri yang bahagia itu berdoa agar dijadikanlah adli seorang anak yang bijaksana sesuai namanya, menjadi anak yang sholeh yang di ridhai Allah. Yose mencium kening aila yang sedang mendekap adli dalam dadanya, memeluknya.
Allah memang tidak pernah memberi cobaan diatas kemampuan umatNya. Kita hanya perlu berusaha dan berdoa. Yakin bahwa allah akan membalas sesuai dengan yang umatNya upayakan. Takdir memang sudah disediakan. Tinggal kita memilih takdir baik atau sebaliknyalah yang akan kita raih. Allah tidak memberikan itu gratis, namun proses dari kita menggapai bintang itu yang di nilai. Kita harus percaya bahwa Allah tidak akan pernah ingkar dengan firmanNya. Yakin bahwa Allah akan menepati semua janji terhadap umatNya.
#this is dedicated for you, bleh. :*                                                        ~Ameliora~
12-05-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar