Sekarang jam
tiga lebih lima puluh menit. Sekarang jam tiga lebih lima puluh menit. Sekarang
jam... Belum genap tiga
kali suara alarm hp memberitahukan jam berapa waktu itu, aila terbangun dari
tidurnya. Ia meraba ke atas bantal dengan tangan kanannya untuk mematikan alarm
yang semalam tadi ia pasang. Ia memang berniat bangun lebih pagi dari biasanya
guna shalat tahajjud. Hatinya bercampur rasa. Memang ia senang sekali karena
esok pagi mungkin ia sudah bertemu keluarganya kembali. Namun seperti sebuah
pasangan, dimana ada senang pasti juga ada sedih. Ia yang semula sangat tidak
terbiasa dengan kehidupannya yang berlatih sebagai seorang pekerja di suatu
balai kini sudah mampu menerima bahkan mencintai rutinitasnya itu. Ia merasa
sangat berat meninggalkan kegiatan yang mampu mengubahnya menjadi sosok yang
jauh lebih mandiri. Baik itu dalam hal menjaga diri, disiplin waktu, disiplin
memanage uang, belajar hidup sendiri, dan disiplin pula untuk selalu beribadah
kepada Allah.
Setelah tidak didengarnya lagi suara alarm hp yang
berulang-ulang, aila mengucek matanya dan memastikan kembali bahwa ia bangun sesuai
dengan jam yang telah di atur. Benar. Jam menunjukkan pukul empat kurang. Kantuk
masih sangat dirasakannya akibat godaan setan yang terus menghasut manusia
dengan bisikan lembutnya agar menjauhi ha-hal yang mendekatkan kepada kebaikan.
Namun aila sadar, ia tidak boleh kalah dengan musuh orang beriman itu. Ia
yangmasih belum sepenuhnya terjaga mencoba bangun dari tempat tidur dan
mengambil air wudhu di kamar mandi yang kebetulan ada di dalam kamar kost
sehingga ia tak perlu repot-repot keluar.
Setelah selesai shalat tahajjud, ia berdoa seperti
biasanya memohon ampun atas dosa dirinya, kedua orang tua, dan saudara sesama
muslimnya. Namun pagi ini ada do’a khusus yang menyertainya. “ya Allah, aila
berterimakasih atas kekuatan yang Engkau berikan sehingga aila bisa dengan
lancar menyelesaikan Praktek Industri ini dengan baik. Aila senang sekali akan
bisa bertemu dengan bapak, ibuk dan kak Rizal. Namun tanpa aila mengadu, Engkau
pasti tahu apa yang aila rasakan. Aila mencintainya ya Allah. Aila tahu, ini dosa.
Tetapi kenapa Engkau masih mengizinkan untuknya menghuni selama ini di hati
aila? Jika Engkau tidak suka kenapa tidak menghilangkan sosoknya dari hidup
aila?” pagi buta itu ia mengadu kepada sang khalik yang tidak akan pernah bosan
mendengar keluh kesah hambaNya.
Ia teringat betapa
semangatnya 6 bulan yang lalu ketika semua siswa seangkatannya berangkat menuju
tempat praktek masing-masing untuk menjalankan program wajib sekolah yaitu
praktek industri. Jelas tidak hanya tertuju pada satu tempat. Dengan jumlah
siswa lebih dari 350 anak pada 3 jurusan, mereka terbagi atas beberapa kelompok
besar yang masing-masing kelompok bertujuan ke satu tempat praktek. Mereka
tersebar sesuai dengan pilihan sekolah. Ada yang di kiriim ke Bandung, Jakarta,
Kalimantan, Sumetera, dan masih banyak daerah tujuan lainnya. Aila kebagian
jatah Praktek Industri di Daerah Jakarta. Berbeda dengan pacarnya yang mendapat
tempat praktek di Bandung yang memaksa mereka untuk berpisah sementara waktu.
“bleh?” begitu aila memanggil seorang cowok dengan
seragam yang sama di sampingya. “apa mbul sayang?” toleh kekasihnya dengan nada
simpatik. Aila yang tadinya berharap cemas kepada kedatangan bus yang akan
mengantar kepergiannya ke Jakarta segera menoleh pula ke arah yose.“aku sayang
sama kamu bleh.” Nada bicara aila terdengar sangat tulus. Kedua tangan yose
dengan lembut menggenggam tangan aila. “aku juga sayang sama kamu, sayang.”
Senyum yose mengembang di wajahnya. “mbul, aku tahu maksud kamu apa. ini
sebentar kok. setelah itu, kita ketemu lagi kan? cuma enam bulan. Ini juga demi
menjalankan prosedur sesuai kurikulum sekolah. Mau nggak mau kita tetep harus
ngejalani ini kan? kamu percaya kan sama aku?” tatap yose jauh menembus ke
dalam mata aila. Yose memang begitu. Selalu saja ia bisa menguatkan hati aila.
Dan aila pun selalu percaya seakan itu adalah motivasi besar yang menyebabkan
ia kecanduan akan tutur yose. “aku percaya sama kamu doblehku.” Balas aila
dengan nada bicara yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. mereka berdua tidak
menghiraukan orang berlalu-lalang di jalan raya depan sekolah mereka. Depan
mereka berdiri pula. Masing-masing siswa yang lain juga sibuk dengan urusannya
sendiri. “kalau gitu, kamu nggak boleh sedih. nggak boleh mikir yang aneh-aneh.
Jangan nakal disana ya mbul?” tangan kanan yose kini mengusap kepala aila dan
itu adalah salah satu hal yang paling aila suka. “iya sayang, aku nggak bakal
aneh-aneh kok disana. Kamu juga harus janji ya nggak boleh nakal!” aila
mengacungkan jari kelingking tangan kanannya yang disusul dengan kelingking
yose yang mengikat yakin. Kini mereka tersenyum lega. Berdua. Sebelum akhirnya
mereka benci dengan bus maisng-masing yang menjadi saksi perpisahan di bulan
agustus itu. Mereka saling memasuki bus yang juga terpisah. Berdua, di depan
pintu bus yang di antri banyak siswa, mereka masih sempat berhenti sebentar melempar
senyum dari wajah tulus untuk satu-satunya orang yang mereka cintai.
Sama seperti sesaat setelah melempar senyum itu, tanpa aila
sadari, bulir air mata membasahi pipinya. Kali ini sekaligus menetesi mukena
yang membungkus telapak tangannya yang tengah tengadah memanjatkan do’a. “ya
Allah, apa maksud dari semua ini? Jika engkau tidak merestui rasa ini, aila
ikhlas. Namun aila mohon, hilangkan semua rasa yang semakin menyiksa ini. Atau
aila di perbolehkan mencintainya? Jika boleh meminta, berikan petunjuk atas...
...” setelah lama berdialog dengan Tuhannya pada tahajjud kali itu, aila
menutup do’a dengan “rabbana atina fiddunnya khasanah, wa fil akhirati khasanah
waqina ‘adzabannaar” dalam sujud khidmatnya.
Aila tidak ingin semakin larut dalam kegalauannya, ia
menyibukkan diri dengan mengepak semua barang yang harus ia bawa kembali ke
Semarang. Ia mempersiapkan segala sesuatunya sendiri karena tepat jam 10 pagi
ia harus sudah berkumpul dengan rombongannya di terminal Gambir untuk segera
berbagi pengalaman dengan keluarga maupun teman yang akan di jumpainya besok.
~Ameliora~
“aila!” teriak nida di seberang ujung sana. Ia sama-sama
pulang dari praktek industrinya di Kalimantan. Sepasang mata dari pemilik nama
yang merasa disebut itu celingukan mencari dari mana sumber arah panggilan itu.
Yap. Seseorang di samping bus nomor 7 melambaikan tangan kepada aila. “eh, hai
nid.” Aila membalasnya dengan melambaikan tangan pula. Setengah berlari aila
menghampiri nida yang berdiri menanti disana. Sebagai seorang sahabat yang
sudah cukup lama tidak bertemu, pagi itu sekitar pukul 11 siang mereka
berpelukan. Mereka senang sekali bisa berkumpul dan bertatap muka dengan semua
teman seangkatannya yang dijadwalkan pulang hari ini.
“ah selalu kamu la.” “hah? selalu apa? Ada yang aneh ya
nid?” aila memandangi penampilan dirinya dari atas hingga bawah seluruh
badannya. Aila mengerutkan jidatnya dan mengangkat kedua bahunya sambil menatap
nida tanda katidaktahuannya. “kamu tu selalu cantik pake jilbab warna pink kaya
gitu.” Puji nida. “ah dasar kamu nid. Nanti aku jadi terbang nih kalo kepalaku
makin gedhe dapet pujianmu. Bisa jadi balon udara entar. Hahaha” mereka tertawa
berdua. Dan seperti halnya siswa-siswi yang lainnya, mereka saling bertukar
pengalaman yang di dapat selama ada di tempat praktek masing-masing.
~Ameliora~
“assalamualaikum.” Sapa aila selepas meletakkan sepatunya
di samping pintu. Kepulangan aila yang di jemput oleh ayahnya itu mendapat
sambutan hangat dari ibu dan kakaknya. “ciyeeh yang dapat duit banyak. Kayaknya
ada yang mau ngasih oleh-oleh ke kak rizal nih.” goda kakaknya yang juga telah
menunggu. “iya deh, nih.” di ruang tv itu aila membongkar koper berisi
oleh-oleh. Belum seluruhnya isi koper di keluarkan, aila beranjak berdiri. “aku
mandi dulu ya, di buka aja itu koper. capek banget nih.” Aila masuk ke kamar
ibunya dan mengambil handuk yang tersampir di pintu kamar sementara kedua
orangtua dan kakaknya mencicipi dodol garut yang dibawanya.
Aila menyisir rambutnya yang panjang hitam selepas mandi.
Memakai handbody dan meratakan hazeline di wajahnya lewat tuntunan kaca
berukuran 30x20cm di dinding pink kamarnya. Di rumah ia tidak mengenakan
jilbab. Hanya ke sekolah ia mengenakannya. Kadang-kadang saja saat bepergian ia
menutupi mahkotanya sebagai seorang wanita. Ia sangat minat berjilbab. Namun,
ia sadar bahwa berjilbab bukan merupakan pilihan melainkan sebuah keputusan
dengan konsekuensi dan tanggung jawab yang berat. Ia tidak mau hanya sekedar
berjilbab saja. Bukan kuantitas yang ia cari. Namun kualitas yang sedang ia
matangkan. Sementara ini ia baru akan menjilbabi hatinya sebelum benar-benar
berhijab luar dalam.
Sementara ia menata kamarnya—yang sebenernya sudah bersih karena selama ia
pergi tidak pernah luput tersapu oleh ibunya—hp yang ia taruh di atas bednya
bergetar. Sebuah sms masuk dengan nomor hp yang tidak ia kenal. “sayang udah
pulang dari Jakarta?” begitulah kalimat yang membuat aila mengerutkan
keningnya. Ia bingung siapa disana yang menirim sms itu. Dadanya berdegup
mengingat selama ini hanya yose yang memanggilnya sayang. Sejenak ia hanya diam
duduk terpaku dalam pikirannya yang melayang mencari tiitk temu. Namun hanya
yoselah yang selalu muncul dalam pencariannya. “maaf, ini siapa ya?” aila
memutuskan untuk membalas sms itu. hatinya kembali gelisah membayangkan balasan
sms yang akan diterimanya. Hp masih di genggam erat dalam tangan kanannya.
Beberapa kali ia melirik hp dengan anggapan sudah ada sms masuk tanpa getaran.
Jelas mustahil karena ia telah mensetting sedemikian rupa agar setiap kali ada
sms masuk ditandai dengan getaran tanpa nada dering.
Ketika ia berdiri untuk mengambil segelas air putih
dengan harapan dapat menenangkan gelisah hatinya, belum sampai keluar kamar hp
yang ia taruh di atas meja belajar di samping bednya kembali bergetar. Lekas
saja ia mengambil hp itu dengan harapan segera mengetahui siapa orang yang
memanggilnya dengan sebutan sayang. Ah, sayangnya itu bukan sms dari nomor yang
tidak di kenal tadi. Hanya sebuah sms dari operator SIM card dengan
pemberitahuan ada paket baru. Malas sekali ia membaca isinya tahu itu tidak
penting. Malah langsung di hapusnya. Dan ia keluar kamar begitu saja.
“alhamdulillah” ia mengucap syukur dadanya sedikit lega
merasakan kerongkongannya dingin teraliri air putih yang baru saja ia teguk. Ia
kembali lagi ke kamarnya. Masih dengan tujuan yang sama : menunggu balasan sms.
Langsung saja ia mengambil hpnya yang baru berapa menit ia tinggal. Yap! Sudah
ada satu sms masuk. Benar saja. Rasanya air putih yang tadi menyejukkan itu
lenyap tak berjejak. Kini ia dua kali lebih berdegup ketika sebuah nama yang
tertulis di pesan masuknya menjawab rasa penasarannya. Sebuah nama yang sedari
tadi menjadi sasarannya. Masih dengan hatinyayang bergeming, berbagai macam
pertanyaan muncul dalam pikir panjangnya. Dia ganti nomor? Kemana nomor hp yang
beda satu digit dengannya? Apa ia membuangnya? Nomor yang mereka beli bersama
itu sudah tidak berarti baginya? Lalu kemana pula ia selama ini? Kenapa baru
sekarang dia sms? Apa pula maksudnya dengan panggilan sayang itu? ah, bendungan
air dalam matanya tumpah membanjiri pipinya. Aila menyandarkan tubuh yang kini
mendadak lemas ke dinding kamarnya. Ia merasakan ngilu di hatinya masih dengan
rasa penasaran. Ia terlalu sakit mebayangkan sesosok pria yang mungkin sedang
menunggu balasan sms darinya.
Sekarang makin menjadilah tangisannya setelah ia membaca
sms lanjutan yang baru saja masuk. Seperti kebanyakan yang lainnya, terus saja
air mata mengalir tanpa diiringi suara tangisan. Ia tidak mau orangtua atau
kakaknya mengetahui bahwa ia sedang menangis. Mau tidak mau ia harus membalas
sms itu. masalahnya, mau di jawab apa?? Seseorang yang sudah lama menghilang
dan kini datang dengan segala teka-teki yang tidak di mengerti aila. Diajaknya
ia dinner pukul 7 malam hari itu juga. iya? Atau menolak? Bingung. Kata itu
sanggup mewakili perasaan di hatinya.
~Ameliora~
Kerudung dengan model pasmina bermotif lurik harimau
hitam putih itu menutup seluruh rambutnya. Dinginnya mengendarai motor malam
itu mampu di tepisnya dengan motivasi kuat yang memupuk hatinya membuat ia
bergegas menuju sebuah restoran yang di sebut dalam sms yang diterimanya tadi
sore. “Kampung Lesehan”. Tepat di depan restoran itu aila menyalakan lampu righting
motornya. Ketika jalan raya cukup lengang, ia belok kanan sekaligus membawa
motornya masuk ke restoran yang cukup luas itu setelah membaca tulisan di
dinding depan restoran : demi keamanan, sepeda motor harap di bawa masuk.
“permisi mbak, bilik nomor 5 dimana ya?” ia menghampiri seorang
wanita berseragam merah biru yang sedang menguncir rambutnya. Dengan sigap
pelayan yang ia hampiri itu menyudahi mengucir rambutnya dan menarik bawah baju
untuk merapikannya. “eh?” sejenak pelayan itu kaget karena tidak menyadari
kehadiran aila di belakangnya sebelum ia melanjutkan kembali kalimatnya. “oh mari saya antar mbak. Sepertinya meja itu
juga sudah di pesan dari tadi pagi.” Pelayan itu menjelaskan sambil berjalan.
“kalau boleh tau, siapa ya mbak yang udah mesan mejanya?” tanya aila sambil
berjalan di belakang mengikuti kemana pelayan berjalan. “oh saya kurang tau
mbak, tapi cowok.” Jawab pelayan tanpa menoleh. Setelah menaiki 5 tangga,
pelayan dengan tinggi tidak melebihi badan aila itu berhenti di depan 3 bilik yang
ada.3 bilik lain dengan nomor 1, 2 dan 3 ada di lesehan bawah tanpa harus
menaiki tangga.”itu mbak.” Tunjuk pelayan ke bilik yang berada di tengah dari
semua bilik yang berderet di situ. “makasih ya mbak.”kata aila sambil tersenyum
ramah. Pelayan itu berlalu dan aila menghampiri bilik yang telah di tunjuk
tadi.
Satu, dua, tiga, dan diteruskan dengan langkah
selanjutnya, aila melewati bilik nomor 4 dan berjalan semakin pelan, ragu untuk
memantapkan langkahnya. Semua bilik berjejer dengan sekat sebuah anyaman bambu
namun terbuka tanpa pintu. Jadi pelayan dapat dengan mudah mengantar pesanan ke
nomor meja yang dituju. Terlihat seseorang duduk membelakangi keberadaan aila.
Tampak seorang laki-laki terlihat dari postur tubuh dan potongan rambutnya.
Sepertinya aila kenal dengan sosok itu. Bahkan mungkin sudah tidak asing lagi.
Namun ia tidak berani menduga. Ia sempat berhenti sejenak sebelum akhirnya
melepas sandal yang dipakainya dan masuk ke bilik nomor 4 itu.
Kini sesosok cowok yang ia duga benar ada di hadapannya.
Aila masih saja berdiri meski cowok itu duduk dan memandangnya. Aila salah
tingkah benar menghadapinya. Bingung harus bersikap bagaimana. Tangan kanannya masih
belum lepas menutupi mulut sedari tadi sebelum
akhirnya cowok yang mengajaknya makan malam membuka percakapan diantara
mereka. “mbul? Kenapa nggak duduk? Sini sebelahku.” Ajak cowok itu dengan
akrabnya. Ia mempersilakan dengan tangannya dan menggeser badan memberi tempat
untuk aila duduk. “hmm. Enggak sini aja. makasih.” Tolak aila halus. Ia tidak
mau semakin salah tingkah dengan duduk bersebelahan dengannya. Ia hanya
tertunduk dengan degupan cepat dalam jantungnya.
“silakan mbak, mas.” Pelayan yang berbeda dari yang aila
temui kini mengantarkan beberapa hidangan dan minuman ke meja berukuran 1,5x1
meter itu. Ada nasi satu bakul, nila bakar asam manis, dan cumi-cumi bumbu
rujak kesukaan aila. Ada lagi satu menu yang selalu dipesan yaitu daun ketela dengan
3 sambalnya. “makasih mbak.” Kata yose kemudian. “aku kan belum pesan.” Tatap
aila yang bingung kearah yose.“ tadi aku yang pesan suruh nganter kalo udah ada
cewek yang dateng ke bilik ini. Mau aku ambilin? Seberapa?” tawar cowok dengan
hem motif kotak-kotak berwarna biru dengan penuh perhatian. Ia mengambil piring
hendak mengambilkan nasi merah di bakul. Aila mengangkat tangan kanannya.
“nggak usah. Aku bisa ngambil sendrii.” Mereka berdua kembali diam dalam
suasana canggung.
“yose, aku nggak ngerti sama sikapmu.” Aila mencoba
mengutarakan apa yang ia rasa dan menatap yose sebentar lalu menunduk lagi.
“aila, aku sayang... ...” “cukup yose.” Aila melepas tangan yose yang mencoba
menggenggamnya, menahan dengan isyarat mengangkat kedua tangannya di depan dada
tanda tidak mau. “aku tahu, maksudmu la. Sekarang kita makan dulu ya? Nanti aku
jelasin.” Yose takut aila akan merasa tambah canggung dan mereka tidak jadi
dinner. Tidak mau makanan yang sudah ia pesan tidak termakan.
Ketika mereka berdua menyantap hidangan yang sebenarnya
cukup membuat aila tergiur, kata sayang yang sudah bisa aila tebak akan di tujukan
kepadanya membaut ia teringat sesuatu. Sebenarnya ada rasa gelisah yang
mencampuri rasa bahagianya ketika ia mendengar kata sayang dari yose. Apalagi
sebuah kejadian pernah membuat hubungan mereka berantakan. Atau malah
mendewasakan mereka?
~Ameliora~
“sayang tak kasih tau.” “apa apa?” respond aila antusias.
“ah nggak jadi ah.” Goda yose yang kembali menyeruput es kelapa muda di
hadapannya. “ah apa kok. sini esnya.” Rebut aila dengan wajah cemberut. “eh eh
ya siniin kok.” yose mencoba merebutnya kembali namun gagal. “yee. Esnya siapa
coba. Week. Cepet ah kasih tau apaan. Nanti aku tuangin sambal nih ke
mangkokmu.” “ah curang kamu mbul.” “biarin wee.” Balas aila menggodanya. “emm
kasih ta nggak ya?” yose menggodanya lagi.” “oh ya terserah yaa. Mau ini apa
enggak?” ancam aila dengan menyendokkan sambal yang diarahkan ke mangkuk yose.
“iya deh iya.” Pasrah yose yang memang anti sambal. “Ibukku suka loh sama
kamu.” “eh?” aila bingung mau menjawab apa keburu senyum mengembang di
wajahnya. “ah paling juga kamu ngarang bleh.” “aku nggak ngarang sayang, orang
ibukku tadi malem bilang gitu habis siangnya ketemu kamu.” jelas yose. “emang
bilang gimana coba aku mau denger.” “ya gitu itu, nggak inget persis kalimatnya.
Intinya suka sama kamu. Soalnya kamu tu duduknya tegak. Nah, ibuk suka sama
cewek yang duduknya tegak gitu sayang.” Terang yose jujur. “eh eh, tapi ya
jangan terus di tegak-tegakin gitu mbul.” “eh apaan coba. Hahaha” mereka berdua
tertawa dalam warung bakso dekat sekolah mereka.
~Ameliora~
Aila masuk ke
kamarnya untuk sekedar meneruskan membaca novel yang baru setengah jalan ia
baca. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan dengan orang tuanya. Tidak
ingin semakin ngelantur dan mneyakiti hatinya. Mungkin juga akan menyakiti hati
yose jika ia tahu. sementara disana, di rumahnya, yose juga menyudahi
ngegamenya dan memutuskan untuk menghubungi aila via sms. “sayang? J :*” seperti biasa, aila membalasnya
dengan “iya apa sayang?” “kamu habis ngapain?” “aku habis diajak ngobrol sama
ortu nih.” “ngobrolin apa sayang?” tanya yose ingin tahu. “ah ya ada deh kok.” setengah bercanda, sebenarnya aila memang
tidak berniat untuk memberi tahu yose.“ah, yaudah kalau mau tutup-tutupan.”
“hmm iya deh, aku cerita. Jadi gini loh bleh. Intinya, bahas future plan yang
nggak sejalan sama yang orang tua harapin.” Maksud aila, keinginan kuliahnya
yang kurang di setujui oleh ibunya. Tapi rupanya yose membaca hal lain dalam
pikiran aila. “soal hub kita ya?” “iya sih, tadi di bahas dikit.” Selalu
begitu. Aila paling tidak bisa bohong kepada yose, orang yang sangat ia cinta.
“orang tua kamu nggak mau kita pacaran? Nggak setuju ya? L” “eh nggak gitu kok sayang.” Aila
tidak mau semakin jauh membahas itu. “terus apa? Yaudah. Nggak papa la. Kita
bisa kok cuma cuma sekedar temenan aja.” ah, hati aila selalu mengirim signal
buruk ketika yose hanya menyebutnya dengan aila saja. Bukan sayang ataupun
gembulnya.
Aila menyudahi membaca novel itu, tiduran dan meletakkan
novel berjudul Merjan-merjan Jiwa itu di sebelah bantalnya. “bleh, please
jangan. Orang tuaku bukan ngelarang kita pacaran. Enggak! Mereka cuma takut
akan kemungkinan yang terjadi di esok. Semisal gimana nanti nikahnya, siapa
yang harus ngalah, anak kita ikut siapa andai kita nggak ada yang mau ngalah,
dan hal lain yang itu masih panjang banget bakal kita laluin. Aku rasa orang
tua aku wajar kalo khawatir... ...” aila menjelaskan panjang lebar berharap
yose mau mengerti dan mendengarkan penjelasnnya. “udahlah la, aku tahu ini
bakal terjadi. Aku nggak mau semakin sakit lagi. Anggap kita nggak pernah
ketemu, nggak pernah kenal, nggak pernah... ...” aila memejamkan matanya meloloskan
air mata yang sejak dari tadi ia bendung dalam kelopak bawah matanya. Ia tak
kuasa menahan tangisnya malam itu. Bahkan untuk sekedar membaca sms yose yang
menyesakkan dadanya.
Paginya, dengan mata yang sembab aila mencegah yose yang
sudah ingin pulang. Beruntung dia melihat yose keluar dari kelasnya. Rupanya
sedari tadi dia menunggu yose pulang tidak sia-sia. Sejak tadi malam yose tidak
membalas smsnya, ia cuma bisa menjalankan rencana yang disarankan sahabatnya
untuk menghampiri yose secara langsung. “yose!” panggil aila kepada yose yang
tidak melihat keberadaan aila di belakangnya waktu ia keluar kelas. Yose
menoleh tanpa mnegucap sepatah katapun. Dari mukanya jelas ada semburat
kekecewaan. Aila menarik tangan yose ke
tempat langganan dimana mereka sering bertemu untuk berbicara mencari jalan
keluar ketika mereka di hampiri masalah.
Kelas mereka bersebelahan. Pintu kelas mereka juga
bersebalahan tentu. Yap! Di batas antara dua pintu itu mereka sering
berdiskusi. Karena dari sana mereka berdua langsung bisa mengetahui jika
sewaktu-waktu ada guru menyambangi kelas salah satu dari aila ataupun yose
untuk mengisi mata diklat sesuai jadwal pelajaran. Yose masih saja diam disitu
meski sudah berhadapan dengan aila. Sepertinya harus aila yang memulai pembicaraan
itu. “bleh, beneran kamu mau ngehindar dari aku?” aila mencoba meyakinkan salah
satu pernyataan yang yose sempat lontarkan kepadanya semalam. Yose tidak
menjawabnya. Tidak juga menatapnya. Hanya mengangkat bahunya dengan sepele.
“yose, jawab pertanyaan aku. iya, atau enggak?” jelas aila butuh jawaban
itu. “hm mungkin.” Jawab yose akhirnya.
Singkat. Namun membuat aila cukup kecewa. Aila juga kaget dengan jawaban itu. Jawaban
yang sangat tidak ia harapkan. Ia pikir, tadi malam yose hanya asal saja karena
ia sedang emosi. Tapi ternyata sama saja. Atau mungkin yose pun sekarang masih
terbawa emosinya? Hati aila seperti berbicara bahwa aila tidak boleh menyerah
begitu saja jika ia memang sayang terhadap yose.
Lama sekali aila meyakinkan yose. Akhirnya yose luluh dan
berkata “aku sayang sama kamu aila.” Yose menatap aila dalam dan mengelus wajah
aila. Mendengar pernyataan yang sudah aila tunggu-tunggu membuat bongkahan air
dalam matanya leleh. Keluar. “ah, sial.” Aila menyesali kenapa ia tidak bisa menahan
air matanya untuk tetap bertahan dalam kelopak matanya. Tapi dengan kesadaran
penuh bahwa ia sedang berada di tempat umum, aila mencoba agar tangisannya
berhenti. Jari yose pun dengan lembut mengusap air mata aila di pipinya.
“jangan nangis disini sayang. Aku nggak mau lihat kamu sedih. aku nggak akan
pergi kok. oke, kita jalani ini berdua mbul!” kata-kata itu berkali-kali lipat
menguatkan hati aila. Genggaman erat tangan yose seakan mewakili pelukan hangat
yang mungkin akan aila dapat suatu saat nanti, tentu saka menunggu para saksi
berkata SAH.
~Ameliora~
Entah karena memang signal hati mereka yang masih kuat
atau ditakdirkan untuk sehati, mereka berdua berdiri bersamaan. Sama-sama untuk
cuci tangan. Memang makan dengan sambal tidak enak jika harus repot menggunakan
sendok. Apalagi mereka harus menyisihkan duri-duri yang bersembunyi di dalam
tubuh nila malang yang di masak asam manis itu. tentu akan merepotkan mereka
sendiri. Aila sebenarnya ingin sebisa mungkin menghindar dari yose. Namun ia
malas jika harus ke washable di ujung sana. Mau tidak mau ia mencuci tangannya
satu washable dengan...pacar? sudah mantan? Atau hanya sekedar teman? ah
entahlah.
Mereka kembali duduk berhadapan. Masing masing menyeruput
juice alpukat. Kesukaan mereka dalam urusan minuman sama. Setelah dirasa sudah
cukup kondusif, yose memulai lagi pembicaraan mereka. Dari awal. “aila?”
panggil yose lembut. “yaa?” kini aila sudah mulai berani menatap yose. Diam
sebentar. Yose menengadahkan tangannya meminta ijin untuk memegang tangan aila.
Namun aila menggeleng. “sayang? Ayolaah. Kamu kenapa sih? Aneh banget.” Yose
cemberut tidak mengerti dengan sikap aila. “kamu yang aneh, bukan aku!” disini
aila mulai terpancing. “aneh gimana la?” yose sudah tahu kemana arah percakapan
aila. Namun ia tidak ingin hanya menduga melainkan mendengar penjelasan
dari aila secara lagsung. “selama ini kamu kemana ha? 5 bulan lebih ini kamu
dimana? Kamu ngilang gitu aja kan? cuma bertahan 2 minggu kita ngejalani LDR.
Dimana komitmen kamu yang bilang kamu nggak akan pergi? Bahkan aku hubungi aja
kamu nggak bisa. Nomor hp kamu kemana? Di buang? Ingat nggak sih itu kita beli
berdua sengaja biar kembaran! Udah nggak berarti lagi itu nomor?” “la, hp aku
hilang waktu pulang praktek. Entah jatuh atau di ambil copet waktu aku
ketiduran di bus. Maaf la.” Yose memotong pembicaraan aila. “dengerin aku dulu.
Tadi aku diem kamu bingung kan? sekarang aku ngomong kamu potong. Mau kamu
apa?” emosi aila semakin naik. “oke, maaf la. Aku bakal dengerin kamu.” kata
yose mempersilakan aila meneruskan pembicaraannya kembali.
“kamu sadar nggak sih, itu nyakitin hati aku banget?
Nggak sadar? Nggak peka kok ya! Pantes aja kalo gitu. 5 bulan itu bukan waktu
yang bentar buat orang yang lagi pacaran. Inget nggak waktu dua hari liburan
terus kamu bilang kangen? Ini 5 bulan kamu nggak kangen ha? Apa udah ada yang
lain di Bandung? Udah nemuin yang lain? Gampang banget kamu lupain aku. nggak mikir
apa sakitnya aku kayak apa? Coba bayangin kalau kamu di gituin sama orang yang
kamu sayang itu gimana rasanya. Sekarang lima bulan udah lewat, kamu pisah sama
seseorang yang udah buat kamu lupa sama aku waktu di Bandung gara-gara kamu
balik lagi ke Semarang, kamu balik lagi juga ke aku gitu? Sayang lagi ke aku gitu?
Tanpa mikirin perasaan aku? ih gampang banget. Nggak ada yang disina, pake
cadangan disini gitu? Hah, semua orang yang nggak punya hati juga bisa!”
sebongkah rasa yang menggumpal di hatinya sejak tadi sore menerima sms dari
yose kini tumpah ruah keluar melalui mulutnya. Kemarahan aila muncul akibat
rasa kecewa yang ia rasa bermula dari yose. Di benaknya, yose lah penyebab
kekecewaannya. Kemarahannya pun jelas terlukis dari tatapan tajam mata aila
terhadap cowok yang ia sayang tapi sekaligus ia benci itu. Ia tidak canggung
lagi menatap mata yang sudah berbulan-bulan ia rindukan. Jujur, semarah apapun
aila, sejahat apapun yose terhadapnya, yoselah yang ia sayang.
“aila, aku punya sesuatu buat kamu.” kata yose tetap
tenang. Ia sudah memprediksikan reaksi aila dan memperkiarakan apa yang harus
ia lakukan. Sudah semenjak berhari-hari yang lalu ia rencanakan. “apa?!” jawab
aila dengan nada tinggi. “dengerin ya la?” senyum yose tetap terlukis di
wajahnya seberapa emosinya aila. “hm.” Jawab aila singkat.
“bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahi rabbil’alamiin.
Arrahmaanirrahiim. Maalikiyaumiddiin. Iyyaakana’budu wa iyyaakanasta’iin.
Ihdinasyiraathalmustaqiim. Syiraathalladziina an’amta ‘alaihim. Ghairil
maghdzuubi ‘alaihim. Waladhoolliin. Aamiin.” begitulah yose melantunkan
ayat-ayat awal dalam surat Al-Baqarah yang tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an
dan wajib dibaca oleh orang muslim yang menjalankan shalat. Aila tercengang
menatap yose dengan heran. “hhhh”. Yose mengambil nafas dalam-dalam, dan
menghelanya sampai habis. Lega sekali rasanya bisa membaca beberapa ayat
tersebut. Ia tersenyum lebar kepada aila yang masih belum percaya atas apa yang
baru saja ia dengar. Rasanya mustahil yose dapat melantunkan ayat suci
Al-Qur’an. Masih dalam gemelut kebingungannya, aila hanya diam. Bukan tidak
tahu ingin berkomentar apa. Tepatnya, mulutnya serasa kaku untuk berkata.
Jangankan berkata, otot rahangnya seperti lupa bagaimana ia menutup mulut. Aila
hanya mampu menatap yose heran dengan kedua tangan menutupi sebagian wajah,
tepatnya menutupi mulutnya. Ia terlempar dalam sebuah gambaran masa lalu yang
mungkin dapat menjawab.
~Ameliora~
“hhhh.” Aila menghela nafas sembari merebahkan tubuhnya
ke tempat tidur busa dengan spreinya yang bermotif bunga tulip itu. Hari ini ia
merasa sangat lelah setelah seharian menyelesaikan praktek industri rutinnya
yang baru berjalan satu minggu. Ia belum cukup terbiasa dengan jadwal hariannya
itu. Jangankan untuk bergegas mandi. Meletekkan sepatu ke rak sepatu saja ia
tak berselera. Ia hanya sudi berhenti untuk melepas dan meninggalkan sepasang
sepatunya di depan pintu sebelum ia menutupnya. Ia tak khawatir sedikitpun meninggalkan
sepasang sepatunya diluar. Kost yang belum lama ia tempati itu terkenal aman
dari pencuri maupun sekedar orang jail yang iseng mencuri barang anak kost.
Drrrtt drrrt. Hp yang sudah sedari tadi tidak lepas
dari gengamannya bergetar. Sebuah sms masuk dengan kontak bernama Yose. “sayang?
Maaf. Aku barusan mandi.” Ah, sepele sekali alasannya. “kenapa nggak bilang
dulu sih bleh? Kamu tahu kan kau nggak suka nunggu? Errgh.” Itulah jawaban
rutin yang aila suguhkan terhadap pacarnya. “eh sayang, aku ada janji nih sama
temen. Bisnis gitu. Aku pergi dulu ya? Love u! :-*” begitu saja pesan yang
ditinggalkan yose kepada aila selalu sekitar jam setengah enam sore. Ketika di
tanya mengenai bisnisnya itu, yose tidak menjawab. Tidak pernah mau mengaku
ataupun menjelaskan. Meskipun di sms berkali-kalipun, ketika dia sudah bilang
mau ada janji, pasti tidak di balas. Aila curiga. Tapi bisa apa dia?
Jakarta-Bandung untuk ukuran aila yang tidak pernah menjamah kedua kota itu
cukup membuat aila tidak berani mencoba untuk menemui yose. Aila hanya berbekal
yakin bahwa yose tidak akan berbuat aneh-aneh seperti janji yang mereka
utarakan sesaat sebelum memasuki bus untuk mengantar mereka ke dua kota
yangmemisahkan mereka dan terpaksa membuat mereka menjalani Long Distance
Relationship. Namun itu pun hanya bertahan tidak lebih dari 2 minggu saja.
Setelah itu, yose menghilang.
Aila yang berperawakan langsing, berkulit langsat dan
berhidung bangir itu tentu mempunyai daya tarik tersendiri di mata laki-laki.
Selama di tempat praktek, beberapa kali ia di perkenalkan kepada kakak kelas
cowok yang sudah lama di rekrut di tempat itu. Namun tidak semudah apa
menaklukan hati aila. Bertukar nomor hp mungkin iya, karena ia cuma tidak mau di
anggap sombong oleh kakak kelas cewek yang membantu melupakan yose dari pikirannya.
Bagaimanapun juga, kakak kelas lah yang mencarikan tempat kost untuk
adik-adiknya yang menjalankan praktek industri di kawasan yang bersangkutan.
Namun sekali lagi aila bukan tipe cewek yang mudah berpindah hati. Sudah
seberapa jauh kakak kelas pdkt dengannya, namun jika sudah ada cowok yang mampu
mengisi bilik kosong dalam hatinya—seperti embrio yang melekat dalam rahim
seorang ibu—cowok itu tidak akan mudah lepas begitu saja. Aila hanya akan
sekedar simpatik tanpa menaruh rasa lebih. Al hasil, cowok-cowok yang mendekati
aila jera dan mundur teratur langkah demi langkah.
~Ameliora~
Hati aila berkecamuk di hadapan yose dalam naungan atap
pondok makan Kampung Leshan malam itu. Apa benar tentang hp yose yang hilang
itu sehingga ia tidak bisa menghubingi aila? Lalu, bagaimana dengan yang baru
saja ia dengar? Meski memang belum fasih melantunkannya, mustahil jika yose mampu bahkan hafal begitu saja ayat
Al-Qur’an. Ia seorang non muslim, seorang kristian tepatnya. Salah satu hal
yang pernah menjadi perdebatan antara aila dan orang tuanya waktu itu. Apakah...?
Yose menghampiri aila yang tertunduk menangis dengan
kedua tangan memegang dadanya yang terasa ngilu. Ia sangat menyesal kenapa tadi
terburu-buru marah sebelum yose menjelaskan yang sebenarnya. “iya, mbul. Setiap
sebelum magrib, aku belajar ngaji di sebuah masjid dekat kostku. Di sana aku
diajari sholat sama seorang usatadz. Tadinya aku ragu, tapi aku ngerasa mantap
waktu temenku ngedukung keputusanku. Soal bisnis itu, ya bisnis aku belajar
islam mbul. Aku nggak ngasih tau kamu biar ini jadi surprise.” Jelas yose
seakan melihat pertanyan-pertanyaan yang muncul di mata kekasihnnya itu. “ aku
minta maaf, aku sayang sama kamu kayak tadi kamu bilang kalau kamu sayang aku
juga. Makanya aku nggak bisa di ting.. ..” belum sempat aila melengkapi kalimatnya,
yose mendekap erat aila yang kini ada di sampingnya. Membuat aila semakin tidak
kuasa melanjutkan kalimatnya. Aila masih tertunduk terisak. Hati aila semakin
bergeming. Ia bahkan mampu merasakan degupan dada yose yang saat itu memeluknya.
“sayang, udah ya. Aku minta maaf udah nyakitin kamu kayak gini. Seenaknya dateng
dan pergi. Kita mulai dari awal ya? Kamu mau kan?” yose melepaskan pelukannya.
Menengadahkan wajah aila dengan kedua tangan, mengusap lembut air mata aila
dengan kedua ibu jarinya. Dengan tangan yose, aila sedikit demi sedikit
mengumpulkan nyali untuk menatap yose kembali. Tatapan itu tidak asing lagi
bagi aila. Ia merindukannya. “kamu mau kan sayang?” yose meyakinkan aila
kembali. Aila terus saja menatap mata yose yang terlihat sangat berharap
kepadanya. Aila mengangguk dan tersenyum kepada yose. “kamu nggak boleh nangis
lagi ya sayang?” pinta yose. Lagi-lagi, aila hanya mengangguk. Mungkin ia sudah
mampu menatap yose. Namun untuk berucap, rahang aila belum mampu melakukannya. Yose
kembali memeluk aila bahkan lebih erat dari yang sebelumnya. Hangat.
~Ameliora~
“nid, gimana nih kulit jagungnya? Aku musti pulang
sekarang soalnya mau ada acara keluarga gitu. Jadi nggak bisa nganter kamu ke
pabrik sekolah buat mungut kulit jagungnya.” Keluh aila kepada nida yang
mendapat jatah mengambil kulit jagung untuk penelitian ilmiah mereka. “yah,
gimana dong la. Indah kan juga ada acara sama anak PA. Malu dong kalau aku
sendirian kesana. Mana nggak kenal lagi sama orang-orang pabrik.” Kata nida dengan
muka cemberutnya. “iya juga sih, mana di kelas tinggal kita berdua pula. Ah.”
Aila menghela nafas dan menyandarkan tubuhnya ke kursi tempat ia duduk. “eh
bentar, la. Gimana kalau aku ngajak sahabatku aja?” “nah, ide bagus tuh!” kata
aila antusias. “bentar ya, aku sms dulu. Tapi kamu jangan keburu pulang.
Tungguin sampai dia kesini.” Tahan nida yang memaksa aila tetap menunggunya.
“ah iyaa deh.”
“Who is that girl i see staring straight back at me. When
will my reflection show who i am inside.” Ketika aila bernyanyi sebuah lagu
yang menjadi soundtrack film produksi Walt Disney itu, yose datang. “gimana
nid?” tanya cowok itu dari luar jendela kelas. “aku dianter ke pabrik kripik
jagung ya?” ajak nida. “mau apa sih?” tanya cowok itu tidak mengerti. “halah,
udah ikut aku aja.” desak nida. “yaudah ayo.” Yose berjalan mendahului ketika nida dan aila masih di dalam kelas.
“eh nid?” aila menahan tangan nida yang berjalan melewatinya membuat nida
menoleh ke arahnya. “apa lagi la? Tuh yose udah kesana nanti aku keburu di
tinggal.” “manis eh. Hehe.” Kata aila innocent. “yeee. Dasar kamu! udah ah.
Bye.” Kata nida sambil berlalu.
~Ameliora~
Pertemuan singkat itu tidak di sangka akan mengajaknya
berlayar sejauh ini. Kini ia sudah setengah jalan lebih. Mau tidak mau ia harus
meneruskan jalan sampai ke tujuan. Tidak mungkin ia kembali lagi ke pelabuhan
dimana ia memulai perjalanan. Akan sangat menyesakkan ketika ia sudah mampu
melewati berbagai rintangan lalu berhenti bahkan berbalik arah begitu saja.
Untuk apa perjuangnnya selama ini jika akhirnya hanya setengah saja yang mampu
ia tempuh? Halangan-halangan itulah yang semakin menguatkan hati aila. Terlebih
lagi yose yang sudah mempercayai keyakinan keTuhanannya.
Yose menatap mata aila, menguatkan. Menggenggamnya,
mengajak masuk dalam rumahnya. Namun aila ragu dan sempat berhenti sebentar,
menahan ajakan yose. Aila menggeleng. “aila, ayo kita jelasin ke ibuk aku.
percaya ini nggak seburuk yang kamu perkirakan.”kata yose. Mereka pun masuk
gerbang rumah yose berdua. Ini kali pertama aila menginjak kaki di rumah yose.
Tetapi bukan itu yang membuat aila ragu. Tidak seperti yose yang sudah beberapa
kali ke rumah aila, aila bahkan belum pernah bertemu dengan anggota keluarga
yose. Belum mengenal karakter mereka terutama orang tua yose. Bagaimana ia bisa
memperkirakan respond yang mungkin akan ia terima? Namun yose lah kekuatan
dalam hatinya.
“ibu bahkan nggak habis pikir sama keputusanmu yose! Ibu
nggak pernah nyangka kamu bakal senekat ini.” Kemarahan skaligus kekecewaan
terlihat di wajah ibu yose. “ada apa ini?” mendengar ada riuh di ruang tamu,
ayahnya yang sedang menonton tv keluar ikut menemui aila dan yose. “ini pak,
anakmu diam-diam sudah berkhianat terhadap Tuhan kita.” “maksudmu apa buk?”
tanya ayahnya tidak mengerti. “anakmu pengen pindah agama. Selama di Bandung,
dia sudah sering mengaji dan belajar Al-Qur’an. “diajari siapa kamu kayak
begini? Cewek yang di sebelahmu itu?” suara ayah yose menggelegar membuat hati
kedua insan yang menjalin cinta itu bergetar. Mereka berdua hanya bisa
menunduk. Sudah di duga respond orang tua yose akan negatif. “pak, buk. Bukan
aila yang menghasut ataupun mengajak yose. Tapi keinginan... ..” “ah sudahlah!
Diam kamu!” paaak! Seketika itu
tangan yose refleks memegang pipi kanannya. Diam tanpa suara. Yose sudah tidak
berani berkata lagi. “pak, buk. Kami bisa menjelaskan duduk perkaranya. Jadi
begini, ... ...” kini giliran aila yang angkat bicara. Ia pikir orang tua yose
tidak akan akan sefrontal itu terhadapnya mengingat orang tua yose tidak ada
hak untuk berbuat kasar kepadanya. Sore itu adalah sejarah bagi perjalanan
cinta mereka berdua. Entah itu apa hasilnya. Mungkin setelah ini aila akan
membicarakan ini dengan orang tuanya. Jika yose masih mau berjuang berdua,
tentunya. Ia membayangkan orang tuanya yang akan menghela nafas lega karena
keinginan yose yang begitu kuat mungkin akan membuka jalan baru bagi kisah
mereka berdua.
~Ameliora~
“saya terima nikahnya aila ulya mahmudah binti Gunawan
dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan seperangkat perhiasan emas 16
gram, tunai.” Aila menahan nafas ketika calon suaminya menjawab ijab dari
penghulu yang menjabat erat. Hatinya berdebar takut calonnya salah dan harus
mengulang. Namun ternyata mampu diikrarkan dengan sekali nafas dan diucapkan
dengan lantang. “hhhhh.” Seketika itu ia menghela nafas. Lega. “bagaimana?”
tanya penghulu yang di serahi kuasa oleh ayahnya aila untuk menikahkan putrinya
itu. “saaah.” “ya, sah.” Jawab para saksi yang hadir dalam upacara akad nikah
itu. “alhamdulillaah.” Syukur penghulu yang diikuti oleh semuanya.
“barokallahu.. ...” do’a pasca akad nikah itu di pimpin masih oleh penghulu dan
diaamiini para tamu undangan yang hadir di situ. Upacara sakral itu berlangsung
khidmat. Mawar Sharon. Di sanalah aila menjadi tokoh utama dalam acara yang
dilangsungkan khusus untuknya dan sang suami. Dalam setiap doa ia menghayati
sampai-sampai air mata menetes melewati kedua sudut matanya. Aila tertunduk
khusyuk bersyukur atas karunia Allah yang baru saja mempertemukan ia dengan
jodohnya. Ia bahagia sekali seakan tidak percaya akan apa yang sedang dia
alami.
Seperti layaknya sepasang pengantin, dikawal oleh
pengiring yang tidak lain adalah kakak kandung dan sepupu-sepupunya, ia diarahkan
oleh dukun pengantin menuju panggung resepsi setelah ijab qabul selesai dan
dengan gaun yang berbeda yang sudah disiapkan sebelumnya. Ia berjalan dengan
gaun putih modern digandeng oleh suaminya di tengah-tengah para undangan. Tak
ada satu pasang matapun yang tidak memperhatikannya. Serasa putri sehari, di
acara resepsi dengan konsep serba putih itu aila menjadi pusat perhatian.
Dengan wajah—yang pernah gurunya kira ia seorang indo—ia dirias sedemikian rupa
cantiknya. Membuat seseorang di sampingnya tersenyum mengagumi kecantikan
istrinya.
Duduk berdampingan dalam satu kursi diatas panggung,
dalam senyumnya aila masih saja terus bersyukur mengucap hamdalah kepada Allah.
Ia benar-benar merasa bahagia dengan takdir yang dilimpahkan kepadanya. Dalam duduk
bahagia itu, ia mendapat bisikan “will u be a mommy for my children?” suara yang hinggap dalam telinganya itu terasa
begitu lembut. Menyejukkan hatinya. Sebuah pertanyaan yang sudah jelas
jawabannya. Aila mengangguk mantap dan mereka berdua berpandangan melempar
senyum masing-masing. Jelas terpancar kebahagiaan dari kedua mata yang saling
memandang itu.
~Ameliora~
“oeeeeeeek.” Keheningan pagi buta itu
dipecahkan oleh tangisan seorang bayi laki-laki yang baru saja lahir. Bayi itu
menangis lantang dalam gendongan tangan bidan yang membantu kelahirannya.
Bersih. Hanya sedikit darah saja melumuri ubun-ubun dan ujung kakinya.
“sempurna.” Kata bidan itu menatap aila. “alhamdulillaah.” Syukur aila dan
hampir semua orang yang menunggui kelahiran putranya. Aila menangis bahagia
menatap makhluk kecil itu dan mengelus kepalanya. “sebentar ya mbak, biar
dimandikan dulu.” Pinta bidan itu lembut. “iya bu bidan, silakan.” aila ikut
saja prosedur bidan. Ia merasa sangat lega sampai lupa rasa sakit yang sebenarnya
masih merayap diseluruh tubuh. Peluhnya mengalir deras mengaliri kening dan
wajahnya. Diusap seseorang yang berdiri di sampingnya, suaminya. “makasih ya
sayang? Aku sayang kamu.” katanya. “aku sayang kamu juga.” ucap aila pula.
“allaahuakbar allaahuakbar. Allaahuakbar
allaahuakbar. Asyhadu allaailaaha ilallah. Asyhadu allailaaha ilallah. Asyhadu
anna muhamamdarrasulullaah. Asyhadu anna muhamamdarrasulullaah. ... ...” aila
menangis melihat suaminya—yose april mananta—mengumandangkan adzan dan iqamah
dengan fasih di kedua telinga putranya. Hatinya bergetar mengingat semua
perjuangan yang sudah mereka berdua lakukan. Ia memegang dadanya yang terasa
ngilu. Begitulah aila. Hatinya ikut berbicara ketika ia merasakan sedih maupun
bahagia yang sangat mendalam.
Mozaik-mozaik yang selama ini ia alami
telah tersusun rapi membentuk sebuah puzzle takdir. Puzzle yang tidak sekali
susun langsung jadi. Namun pada akhirnya mozaik-mozaik yang berserakan itu kini
berkumpul menjadi satu. Masing-masing dari mereka tidak berdiri sendiri. Tentu
saja saling berkaitan satu sama lain. Teka-teki Allah itu kini terkuak dan
muncul ke permukaan. Membuat aila bersyukur atas jalan hidup yang Allah
anugerahkan. Membuat aila mengerti hikmah di balik baik- buruk kisahnya.
Membuat ia lebih sadar bahwa yang Allah berikan pasti adalah yang terbaik
dengan intisari berbeda-beda dari setiap puzzle.
Ia tidak pernah menyesal ditakdirkan dengan
kisah cinta penuh pengorbanan. Ia tahu bahwa itu semualah yang menguatkan dan
mengokohkan sehingga ia dan yose dapat bertahan sampai sekarang. Tidak sia-sia
perjuangannya selama ini. Allah menjawab doanya. Dengan halus dan tidak pernah
berhenti memberikan pengertian kepada keluarga yose, akhirnya mereka luluh dan
mau mengerti. Mereka berdua tidak pernah bosan dan tidak pernah lelah terus
berjuang meyakinkan. Orang tua aila sendiripun awalnya tampak ragu dengan tekad
yose untuk menjadi seorang muallaf mengingat basicnya sebagai kristian. Orang
tua aila takut yose tidak akan mampu memenuhi kewajibannya menjadi imam sebagai
seorang suami untuk aila. Takut yose tidak akan mampu berkomitmen menjadi
seorang muslim yang nantinya harus membimbing aila. Tetapi begitulah mereka
berdua. Tidak pernah takut menghalau rintangan. Saling bergandengan tangan
untuk berjalan bersama. Merangkul ketika yang satu merasa sudah tidak kuat lagi
berdiri. Mereka saling mengerti dan memahami.
Begitu pula dengan yose. Ia merasa
mendapat berkah yang luar biasa. Satu kado untuk dua momen. Kado dari
pernikahannya dengan aila, dan kado bagi ulang tahunnya di hari itu. Minggu, 27
April 2007. Adli April Mananta. Begitulah yose dan aila memberi nama buah cinta
mereka berdua. Sepasang suami-istri yang bahagia itu berdoa agar dijadikanlah adli
seorang anak yang bijaksana sesuai namanya, menjadi anak yang sholeh yang di
ridhai Allah. Yose mencium kening aila yang sedang mendekap adli dalam dadanya,
memeluknya.
Allah memang tidak pernah memberi
cobaan diatas kemampuan umatNya. Kita hanya perlu berusaha dan berdoa. Yakin
bahwa allah akan membalas sesuai dengan yang umatNya upayakan. Takdir memang
sudah disediakan. Tinggal kita memilih takdir baik atau sebaliknyalah yang akan
kita raih. Allah tidak memberikan itu gratis, namun proses dari kita menggapai
bintang itu yang di nilai. Kita harus percaya bahwa Allah tidak akan pernah
ingkar dengan firmanNya. Yakin bahwa Allah akan menepati semua janji terhadap
umatNya.
#this is dedicated for you, bleh. :* ~Ameliora~
12-05-2013